Laman

Senin, 21 Desember 2015

IAN ANTONO




Suka atau tidak, Ian Antono bagian dari sejarah musik rock Indonesia. Lebih dari 40 tahun ia mendedikasikan diri terhadap musik rock. Meskipun Ian, yang nama kompletnya Jusuf Antono Djojo, juga terlibat dalam penggarapan album-album di luar genre rock. Entah pop atau dangdut, sentuhan rock, terutama dari riff-riff gitarnya, tetap terasa. Hebatnya, Ian menafsirkan rock yang bercita rasa western dengan rasa Melayu. Sepintas saja, orang awam mudah menebak musik yang ditata Ian Antono. Artinya, Ian menemukan jati dirinya sebagai seorang pemusik. Namun, hal ini tidak diperolehnya dalam sekejap. Band demi band dimasukinya. Berbagai rekaman telah digarapnya sejak 1970-an hingga sekarang. Layaknya ksatria, Ian Antono adalah sosok yang telah kenyang mencicipi asam garam (musik) rock. Gitar adalah instrumen yang mewujudkan segala imajinasi musikalnya.


Musik memang hidup Ian Antono. Musisi kelahiran Malang, 29 Oktober 1950, ini telah bergabung dalam sebuah band bocah saat kanak-kanak. Instrumen yang dipegangnya adalah bongo dan sering memainkan lagu-lagu bernuansa Melayu seperti yang dibawakan Orkes Gumarangnya Asbon dan Nurseha.


Lalu, bersama dengan saudaranya, Ian Antono membentuk Zodiacs. Saat itu ia sedang mengagumi gitaris Hank Marvin dari grup The Shadows (Inggris) serta pasangan gitaris Don Wilson dan Bob Bogle dari kelompok instrumental Amerika The Ventures. Kedua grup itu menonjolkan permainan gitar elektrik. Ketika bergabung ke Irama Abadi (Abadi Soesman) pada 1969, mulailah Ian bermain profesional di Marco Polo Hotel Menteng, Jakarta, selama dua tahun.

Di awal 1970, Ian balik ke Malang memperkuat kelompok Bentoel, yang dibiayai perusahaan rokok Bentoel. Di grup ini Ian sempat bermain drum sebelum akhirnya gitar. Bentoel Band terdiri atas Ian Antono (gitar), Teddy Sujaya (drum), Wanto (flute), Bambang M.G. (bas), Mickey Michael Merkelbach (vokal), dan Yanto (keyboard). Yang disebut terakhir adalah abang kandung Ian Antono. Bentoel Band ini memainkan musik pop hingga rock. Jika di atas pentas, Bentoel lebih banyak memainkan repertoar rock mulai dari Traffic hingga The Rolling Stones. Bahkan Mickey, sang vokalis, sempat menampilkan aksi menggigit leher kelinci, lalu darahnya ditenggak. Atraksi itu mungkin ingin meniru kelompok Black Sabbath atau Alice Cooper. Tetapi, Bentoel bisa berubah santun ketika menjadi pengiring Emillia Contessa dalam rekaman.


Pada 1971-1973 Bentoel adalah grup musik yang aktif melakukan tur ke berbagai kota di Indonesia. Saat Bentoel tampil di “Jakarta Fair 1974″, mereka dilirik God Bless yang sedang mencari pengganti Keenan Nasution (drum) dan Oding Nasution (gitar). God Bless terkesima melihat dua personel Bentoel Teddy Sujaya (drum) dan Ian Antono (gitar). Tak lama berselang keduanya direkrut. Ketika bergabung, God Bless aktif membawakan repertoar seperti Free Ride (Edgar Winter Group) atau From Another Time (James Gang).

Medio 1970-an, musik rock hanya laku sebagai tontonan panggung. Perusahaan rekaman besar Remaco, Metropolitan, atau Purnama menganggap sebelah mata jenis ini. Kalaupun ada grup yang merekam album, dipastikan mereka dituntut membawakan lagu-lagu berkonotasi pop yang lembek. Tak heran God Bless baru merilis album perdana pada 1976 oleh PT Pramaqua, perusahaan rekaman baru kongsi Radio Prambors dan Aquarius. Di album ini, God Bless menulis lagu sendiri yang sebagian besar ditulis Donny Fattah dan Ian Antono, di samping menyanyikan lagu Friday on My Mind (The Easybeats) dan Eleanor Rigby (The Beatles).


Album tersebut banyak menuai kritik karena beberapa aransemen lagu God Bless banyak menjiplak dari grup mancanegara yang ditambal sulam ke pola mereka. Mulai dari interlude Firth of Fifth dan Dancing With The Moonlit Knight-nya Genesis, Thick As A Brick (Jethro Tull), hingga Valedictory (Gentle Giant) atau She Passed Away yang seolah kembaran lagu Spooky Tooth The Mirror. Hal ini terulang ketika merilis Cermin (1980) yang banyak mencomot musik grup Kansas, misalnya lagu Anak Adam yang introduksinya diambil dari Journey from Maria Bronn. Bahkan tujuh tahun berselang terulang lagi pada Semut Hitam yang nyaris sama dengan Goin’ Crazy-nya David Lee Roth atau intro Kehidupan mirip Livin’ on A Prayer-nya Bon Jovi.

Kenapa hal semacam ini bisa terjadi? Antara lain keterpengaruhan grup mancanegara yang dikagumi. Tetapi, ada sisi positifnya, karena pengaruh-pengaruh tersebut Ian akhirnya menemukan cetak biru karakter musiknya sendiri. Sebetulnya ini lumrah. George Harrison pernah dituding menjiplak He’s So Fine-nya The Chiffon pada lagu My Sweet Lord. Deep Purple menjiplak riff Bombay Calling milik grup It’s A Beautiful Day untuk lagu Child in Time dan lainnya. Era kreativitas Ian Antono mulai mengkristal justru pada 1980 ketika sebelumnya ia berhasil menjadi penata musik untuk beberapa album pop rock seperti Biarawati (Sylvia Saartje, 1977) dan proyek Duo Kribo (Achmad Albar-Utjok Harahap, 1976-1978).


Lalu, album penyanyi pop wanita digarap Ian Antono, antara lain Berlian Hutauruk, Happy Pretty, Dewi Puspa, Angel Pfaff, Hetty Koes Endang, hingga Grace Simon. Dengan cerdas Ian membalut sentuhan rock dalam lagu-lagu pop mereka. Misalnya, ketika ia mengaransemen Rindu (Ferdi Ferdian) yang dinyanyikan Hetty Koes Endang dan menjadi hits. Mungkin lewat tangan Ian jugalah musik rock yang sempat terpinggirkan berubah menjadi tambang emas. Lihat saja sukses yang diraih Nicky Astria sebagai penyanyi rock wanita di pertengahan 1980-an lewat album Jarum Neraka, Tangan Setan, dan Gersang. Sukses Nicky lalu menjadi tren munculnya istilah lady rockers, ditandai oleh Anggun C. Sasmi, Nike Ardilla, Jossy Lucky, Mel Shandy, Ayu Laksmi, Lady Avisha, Cut Irna, Ita Purnamasari, dan Mayangsari.

Bukan hanya itu, Ian Antono mulai menyulut tren penyanyi rock pria yang berawal Achmad Albar, Ikang Fawzy, Freddy Tamaela, Gito Rollies, dan lainnya. Tangan dinginnya terlibat dalam memoles dua album fenomenal Iwan Fals 1910 dan Mata Dewa. Ian pun sempat menggondol penghargaan Penata Musik Terbaik album Mata Dewa dalam BASF Award 1992. Ian juga ikut membina regenerasi grup rock dengan menuntun sederet grup rock ke dunia rekaman, seperti Grass Rock, El Pamas, Whizz Kid, U-Camp, Sket, Geger, dan Jaque Mate. Menurut Ian, jika tidak ikut langsung dalam membina mereka niscaya sejumlah grup rock senior justru tak akan memiliki pengganti. Alhasil rock di negeri ini bakal pupus. Dalam album Tribute to Ian Antono yang dirilis oleh Sony Music Indonesia, Ian malah tampil bersama grup rock baru Gallagasi yang didukung dua putranya, Stefan Antono dan Rocky Antono. Setelah membubarkan grup Gong 2000 secara resmi pada acara tutup tahun 2000 dalam sebuah konser perpisahan di Ancol, ia masih setia dengan God Bless yang kini terkatung-katung menjalani proses album baru.


Gong 2000 sendiri salah satu tonggak perjalanan Ian Antono. Grup yang dibentuk pada 1991 ini sering membuat bingung karena Ian juga mengajak dua kugiran God Bless, yaitu Achmad Albar dan Donny Fattah. Tetapi, perbedaannya di Gong 2000 Ian Antono bertanggung jawab total terhadap musiknya. Dalam beberapa lagunya ada sentuhan instrumen etnik Bali.

Selain memiliki aktivitas dan kreativitas tinggi, tak bisa disangkal jika Ian Antono sebagai pemusik yang berpengaruh dalam konstelasi musik di negeri ini. Tradisi menulis lagu, terutama musik rock dengan syair Indonesia, bisa jadi ditularkan oleh Ian Antono dan grupnya, God Bless. Upaya God Bless menembus rekaman dengan idealisme musik rock medio 1970-an hasilnya dirasakan oleh para pemusik rock hingga sekarang.



Hampir lima dekade Ian Antono malang melintang di jagat musik Indonesia, merasakan pahit manisnya pasang surut panggung rock Tanah Air, sampai 'dikebiri' hak ciptanya oleh industri musik, namun ia masih tetap tegak berdiri.

Entah sudah berapa ratus panggung ia taklukkan dengan lengkingan gitarnya, yang jelas Ian Antono masih tetap berkarya di usianya yang ke-65.

Berawal dari masa kecil yang memang dekat dengan dunia musik, ditambah hasrat bermusik yang tak terbendung, Ian menjadi salah satu legenda musik rock Indonesia. Namun semua itu bukan perkara mudah, Ian harus jatuh bangun bergulat dengan jalan hidup yang dia pilih itu.


Beruntung saat kecil Ian Antono mendapat paparan musik yang lebih dari anak seusianya, rumah Ian di Malang kerap dijadikan tempat berkumpul untuk ngeband. Belum lagi, kediaman Ian digunakan sebagai tempat radio amatir. Hal itu membuat Ian memiliki referensi musik lebih luas karena bisa mendengarkan siaran dari Australia yang kerap memutar lagu-lagu yang sedang menjadi tren di Amerika dan Eropa.


“Band zaman dulu masih aliran enggak jelas, zamannya the Shadows. Di rumah ada alat band, dari kecil telinga sudah dibiasakan mendengar musik. Kebetulan orangtua saya bebas, seneng lah kalau rumahnya untuk ngumpul-ngumpul. Pertama saya belajar instrumen drum,” kenang Ian.

Kegemarannya terhadap musik bertolak belakang dengan situasi pada zaman itu, terlebih saat Ian bersekolah di sekolah bergengsi yang dikenal memiliki murid dengan kualitas akademis baik. Langkah berani diambil Ian, dia hijrah menuju Ibukota selepas SMA.

“Saya dulu sering bolos, saya enggak nakal anaknya, malah cenderung diem. Sekolah ya karena takut aja sama orang tua. Sekolah saya sekolah bagus semua, sekolah Katolik,  SMP di Santo Yosef dan SMA di St. Albertus,” tukas Ian pada Metrotvnews.com.

 
Bisa dibilang, modal Ian ke Jakarta hanya tekad ingin jadi musisi. Selebihnya nekat. Berangkatlah Ian ke Jakarta di akhir dekade 60-an bersama sahabatnya dari Malang, Abadi Soesman. “Saya pergi dari Malang gara-gara musik, saya berhenti sekolah karena musik. Waktu itu umur saya masih 17 tahun,” beber Ian.

Ian yang pada awalnya bermain untuk band yang tampil di klub-klub malam dan hotel pun merasa jengah dengan kehidupan musisi yang tak pasti pada zaman itu.


“Sekitar tahun 1975, masa susah saya, sebelum bergabung God Bless. Masa paling susah untuk menentukan saya terus atau enggak (di musik). Waktu itu di band Irama Abadi, saya diajak ke Jakarta dan tinggal di satu kamar tidur diisi 6 orang, tidur di tikar. Saking enggak tahannya saya pernah pulang naik motor dari Jakarta ke Malang,” ujar Ian sambil tertawa.

Lagi-lagi musik menariknya begitu kuat, keluh dan peluh tak membungkam hasrat Ian muda. Tak lama meratapi nasib, Ian bergulat lagi dengan Ibukota.

Sekembalinya ke Jakarta, Ian masih terngiang akan kampung halamannya di Malang, kerinduan-kerinduan yang muncuk akibat kerasnya hidup di Jakarta, “(Dulu) Masih ada penyesalan ke Jakarta, tapi enggak mungkin balik ke Malang, udah enggak ada rumah di Malang, dicemooh juga kalau kembali.”


Pada tahun 1975 Ian masuk ke God Bless, band yang sebelumnya sering membawakan lagu milik band lain seperti Deep Purple dan Genesis. Mendapat suntikkan personel baru, God Bless percaya diri merilis album debut mereka.

Butuh keberanian atau mungkin lebih tepatnya nekat untuk merilis album rock di zaman itu. Selain tidak diminati oleh perusahaan rekaman, musik rock yang terdengar liar juga kurang menjanjikan dari segi komersial.

Pramaqua menjadi perusahaan rekaman yang merilis album debut God Bless, bukan karena mereka melihat potensi pasar rock, tetapi lebih kepada hubungan baik antara Ian dan petinggi Pramaqua. Johannes Soerjoko, pendiri Aquarius (Aquarius bersama Prambors Rasisonia membuat Pramaqua) menjalani masa kecil bersama Ian, dia kerap bermain di rumah Ian di Malang.

“Album pertama God Bless yang bikin Pramaqua. Dulu pakai mixer radio untuk recording, mixernya udah 24 track, merknya saya ingat Schlumberger,” kata Ian.

Salah satu kenangan masa perjuangan Ian bersama God Bless adalah mereka mampu memaksimalkan apapun yang ada dengan modal utama semangat. Bahkan, Ian melahirkan berbagai karya-karya besar tanpa menggunakan gitarnya sendiri, karena ia memang belum punya.

“Album pertama God Bless itu bukan pakai gitar saya, saya pertama punya gitar tahun 2000. Itu yang beli sendiri. Kalau dipinjami sering, ditaruh rumah sampai lama, gitarnya Abadi (Soesman) saya bawa pulang sampai akhirnya kayak gitar saya sendiri,” kenang Ian sambil terkekeh.

Meski nama God Bless selangit, hal itu tidak sama dengan mereka berhasil meraup rupiah yang berlimpah. Kesampingkan pikiran bahwa rockstar se-zaman Ian seperti rockstar sepuh di Inggris atau Amerika Serikat.


Industri musik yang bobrok membuat mereka kini bahkan tidak bisa merasakan hasil jerih payah. “Kayak sapi perah bener, cari (bukti) royalti God Bless. Satu sen aja enggak pernah (dapat), tanya saja pemain (God Bless) lain. Tanya label rekaman pernah ngasih royalti saya enggak, dari dulu orang mikir (jadi musisi terkenal) enak . Di surat kontrak ada, tapi duitnya enggak ada,” jelas Ian.

Kekesalan ini membuat Ian sempat meninggalkan God Bless. Dia mencari rupiah dengan cara-cara lain, kasarnya setiap kemungkinan yang ada Ian jalani. Selama tidak melenceng dari musik.

Ian ikut membidani lahirnya album-album musisi top lain. Duo Kribo (Achmad Albar dan Utjok Harahap), Berlian Hutauruk, Ikang Fawzi, Nicky Astria, hingga Iwan Fals, adalah mereka yang mengecap tangan dingin Ian sebagai penata musik. Seolah memang dilahirkan untuk musisi terkemuka tanah air, kekesalan Ian terhadap industri musik justru membawa babak baru dalam sejarah musik di Indonesia.


“Yang menghidupi saya itu sebagai arranger, bisa beli rumah, kendaraan itu dari arranger. Kalau orang bilang uang saya datang dari God Bless itu salah. Konser God Bless berapa kali sih dalam sebulan. Kalau royalti jelas, saya mungkin jaya. Itu alasan kenapa saya bikin Gong 2000, karena (royalti di God Bless) enggak jelas dan semua kebuka setelah saya bikin Gong 2000,” kata Ian.

Tapi, dalam masa-masa sulit itu Ian justru melahirkan lagu hebat, “Rumah Kita”. Lagu yang dibuat Ian karena terinspirasi akan harmoni masa sulit saat tinggal di rumah kontrakan di daerah Tebet, Jakarta Selatan.

“Saya pernah tinggal di Tebet, mess saya yang legend di Tebet Timur, banyak musisi yang lahir di situ. Rumah kontrakan kamarnya tujuh, kecil rumahnya tapi tingkat. Semua lahir dari situ, dari Grass Rock, Aquarius, Utjok (Harahap). Yang bingung dulu bisa aja makan, walaupun sampe makan di warteg ngutang. Setelah sekarang kita baru inget kalau dulu susah, dulu pas ngejalani enggak merasakan apa-apa,” kata Ian. “(Lagu) ‘Rumah Kita’ itu lahir pas di Tebet,” lanjut Ian.


Gonta-ganti personel di tubuh God Bless, terhitung sampai sekarang formasi God Bless telah berubah lebih dari 15 kali, menurut Ian bukan karena mereka saling tidak cocok atau sering bertengkar. “Yah namanya musisi jaman dulu, satu band saja tidak bisa jadi pegangan. Jadi kita semua bebas, mau cari uang di mana saja. Tidak mesti di God Bless,” kata Ian.

Yang kerap terjadi di tubuh God Bless hanyalah kesalahpahaman kecil yang biasa terjadi di setiap band. Ian justru membeberkan bahwa mereka memiliki kebiasaan yang unik. Para personel God Bless memilih diam saat marah, jauh dari sumpah serapah dan debat kusir.

“God Bless itu paling aneh, kalau berantem enggak pakai mulut. Latihan (tetap) jalan, cuma suasananya enggak enak. Pemicunya masalah sepele, masalah terlambat, masalah susunan lagu juga bisa. God Bless paling sering ketinggalan pesawat, karena nungguin Iyek (Ahmad Albar) kelamaan mandi ,” kenang Ian tertawa.


Cobaan bagi Ian bukan hanya soal buruknya perlindungan hak cipta musisi yang jelas terlihat, tetapi juga hal-hal yang tak kasat mata dan tak masuk logika. Singkatnya, Ian pernah mengalami suatu masa mendadak sakit dan tidak bisa bermain gitar.

“Yang enggak pernah lupa, saya muntah darah di Jogja, saya ke dokter tapi dokternya bilang aneh karena saya tidak apa-apa, sampai saya enggak bisa main gitar dalam dua tahun,” ujar Ian.

“Tangan saya enggak bisa main gitar, bentuknya gini (menunjukkan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis berhimpitan) kayak orang lepra. Tiap hari saya cuma bengong, diajak ke laut sama bini saya. Ada ceritanya, saya ke Amerika (Serikat), katanya disuruh nyebrang laut, tapi nyatanya sembuh. Balik dari sana saya bikin Gong 2000. Musikalitas enggak ilang,” lanjut Ian.

Hingga saat ini, Ian masih tidak bisa mencerna secara logis apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi, dia yakin bahwa itu bagian dari buah persaingan di industri yang keras. Musibah itu terjadi pada saat Ian hengkang dari God Bless di akhir dekade 80-an.

Meski Ian mengakui God Bless tidak rajin mengisi kantong, tetapi dia menyadari bahwa God Bless adalah sesuatu yang besar. God Bless bukan semata urusan bermusik yang lantas menghasilkan uang, God Bless adalah keluarga bagi Ian. Hal itu pula yang membuat Ian ogah mengurus urusan gono-gini royalti.

“Percuma ke pengadilan malah habis duitnya, malah digorok pengacara. Makanya saya bilang dunia musik di indonesia itu kabur, padahal setiap (rumah) karaoke (lagu God Bless) dinyanyiin. Setiap tahun (God Bless) dikasih (royalti) Rp200 ribu, saya bilang ambil saja sekalian uang itu,” ujarnya kesal.

Ian mengaku bahwa penghargaan terhadap karyanya justru diterima dari negara tetangga, “Lebih enak Malaysia, saya dapat royalti ‘Zakia’, royalti terbesar dalam hidup saya itu dari ‘Zakia’. (Di Indonesia) Copyright master rekaman dipegang sama label seumur hidup, hak lagu di musisi. Itu kenapa saya bikin ‘Song Book I’ karena saya ingin menyelamatkan lagu saya, kasarnya daripada lu (label yang tidak memberi royalti) yang jual lebih baik gua yang jual.”

Pengalaman ini membuat Ian kini menempuh jalur label independen. Sistem titip jual dengan menggandeng distributor dirasa Ian lebih ideal. Misi “pemutihan” karya-karya Ian yang jika dihitung keseluruhannya mencapai 400 lagu terus berlangsung, direkam ulang agar Ian juga memiliki rekaman master dari karyanya sendiri.

“Daripada menuntut mending berbuat, yang penting melawan dengan perbuatan. Rencananya Mei (rilis lagu God Bless yang direkam ulang) , karena Mei ulang tahun God Bless, (lagunya) campur-campur terserah konsepnya yang penting (punya) master,” kata Ian.

Kini, God Bless jadi salah satu band dengan personel yang terbilang masih lengkap jika dibandingkan beberapa band yang tumbuh di dekade 70-an, mereka bukan hanya masih kuat secara fisik, tetapi juga eksis dalam band secara utuh.

Ian Antono bersama God Bless bukan hanya hidup untuk musik, tetapi musik yang hidup dalam tiap hembus nafas mereka. “Saya berpikir apa karena namanya ‘God Bless’ (Tuhan memberkati) makanya God Bless itu masih jalan,” kata Ian sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...