Laman

Senin, 14 November 2016

SHARK MOVE : Dengan album perdana dan terakhir “Ghede Chokra’s”




Berapa banyak grup musik yang benar-benar mau meningkatkan mutu musik dalam rekaman, tanpa terlalu peduIi pada selera pubilk? Rasanya jari-jari sebelah tangan saja sudah cukup menghitungnya.

Dua jari di antaranya boleh kita pakai mewakili 2 nama grup dari Bandung. Satu untuk The Gang Of Harry RoesIi satu lagi untuk Shark Move. Dalam waktu yang tidak terlalu berjauhan dua-duanya selesai merekam album-album pertama mereka. Dua-dua album mereka dicetak dengan cover yang lain dari cover-cover “Grup-grup Melayu" yang lain.

Boleh dibilang suatu langkah berani jika mereka tidak memajang tampang-tampang di cover depan, melainkan menampilkan lukisan-lukisan. Sedikit cerita tentang cover The Gang Of Harry Roesli bisa anda baca pada artikel tentang grup tersebut. di halaman lain. Sementara cover Shark Move sendiri menonjolkan satu artwork bercorak "pop surealis” bikinan seorang "Seniman sambilan" berambut kelewat panjang yang punya nama Samantha Choqie.

Dari cover yang macam demikian, mestinya publik yang punya selera tertentu sudah boleh menduga setidak-tidaknya punya sedikit kepercayaan bahwa isi album-albumnya bukan tidak mungkin punya selera tertentu yang tidak gampangan.

“Kenapa kalian bikin cover album macam ginian? Apa tidak takut masyarakat malah segen buat beli album kalian?”

“Kami yakin paling tidak masyarakat melihat sesuatu yang lain pada album kami. Sebutlah ini semacam aksen bagi cover-cover dari grup lain yang semuanya melulu pameran tampang. Soal laku tidaknya itu adalah risiko. Segalanya bagi kami hampir merupakan gambling! Kami sendiri tidak yakin apa masyarakat bisa menerima lagu-lagu kami di dalamnya. Tapi ini tidak berarti bahwa kami sama sekali mempersetankan selera umum. Satu dua lagu sengaja kami bikin komersil dalam lirik tapi tidak dengan menurunkan mutu musiknya.”

“Jika begitu, pendekatan dengan masyarakat kalian lakukan melalui lirik saja?”

“Ya dan juga tidak! Ya, sebab memang satu dua lagu begitu. Tidak, sebab kami pikir musik kami tidak bisa disebut menjauhi selera umum. Hanya barangkali kami bisa disebut tidak terlalu memperhitungkan selera masyarakat banyak dengan misalnya membikin lagu-lagu cengeng murahan. Kami lebih banyak melepaskan ide-ide kami demi kepuasan saja.”

Gede Chokra’s

Gede Chokra’s judul albumnya. Konon bahasa India ini berarti Great Session.

“Kenapa judulnya kok aneh?”

“Biar orang penasaran.”

“Memangnya artinya apa? Ide siapa itu?”

“Great Session. Itu bahasa India. Anggota kami sendiri Bhagoe yang kasih nama, kebetulan dia memang keturunan India.”

Great Session. Barangkali memang benar grup ini merupakan sebuah big session. Soman Lubis anak Batak dan Benny Subardja anak Sunda dua-duanya orang kuat eks the Peels. Lalu Yanto setengah Sunda setengah Jawa dan Sammy anak Lampung, dua-duanya eks Red & White sebuah band yang sebentar nyawanya tapi dikenal sebagai kelompok musik yang tangguh kalau mereka muncul.

Yanto sendiri di kotanya lebih dikenal lewat band yang dibentuknya dulu, Diablo. Orang terakhir adalah nama yang muncul lewat kenekadan yang tidak tanggung-tanggung. Tanpa pengalaman sama sekali, anggota yang punya nama Baghoe ini tarik suara dalam lagu ‘Evil War’ ciptaan Benny Subardja. Hasilnya memang belum boleh dibilang lumayan.

Tapi si Baghoe ini punya andil yang tidak layak disebut kecil dalam terbentuknya Shark Move. Dia adalah motor yang memungkinkan terlaksananya rekaman. Sejumlah uangnya sendiri ia pertaruhkan untuk suksesnya rekaman ini. Dus, dengan kata lain, vokalis ini merangkap sponsor dan produser tanpa perhitungan untung rugi, yang bikin kita pantas mengucapkan salut atasnya.

“Apa yang mendorong kau sampai mau memproduksi rekaman semacam ini?”
“Satu-satunya dorongan adalah kebosanan! Kebosanan melihat dan mendengar hasil rekaman-rekaman grup dalam negeri selama ini. Boleh dikata semuanya asal saja. Dari lagu-lagu cengeng murahan sampai aransemen asal jadi. Saya lihat potensi kawan-kawan saya, Soman, Benny, Yanto dan Sammy cukup kuat, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Mudah-mudahan dalam hal ini saya tidak keliru bertindak.”

“Apa benar-benar kau yakin, yang kau lakukan ini lebih baik dari produser-produser lain dan juga yakin bahwa grup ini bisa sedikitnya memberikan warna tersendiri di antara rekaman-rekaman grup lain?”

“Saya berusaha untuk meyakini hal ini. Selanjutnya toh masyarakat juga yang menilai, tapi kami sudah siap dengan segala caci maki.”

“Apa kira-kira lagu yang kau harap bisa diterima banyak orang?”
“Tidak tahu pasti. Selera masyarakat susah ditebak. Tapi ancer-ancer bisa disebut ‘My Life,’ ‘Butterfly’ dan ‘Bingung.’”

Kelima anggota grup ini masing-masing mencipta lagu dan menyanyikannya. Dan yang paling patut dicatat di sini adalah bahwa Benny Subardja terlihat menonjol dalam kesanggupannya untuk menciptakan lagu-lagu yang bagus. Soman Lubis membuktikan ketangguhannya pada organ dan piano, Sammy membuktikan dirinya sebagai drummer dengan variasi pukulan-pukulan variatif. Sementara Yanto lebih menonjol sebagai vokalis yang harus diurut di tempat teratas jika kita harus menyusun daftar vokalis terbaik kota Bandung.

“Saya lihat tak ada nama-nama pemain pada cover album kalian?”

“Sengaja! Sekali lagi supaya orang penasaran. Toh orang menikmati musiknya bukan pemainnya.”

“Apa kalian ngga pengen beken?”

“Beken sih sudah…..ha….ha…ha…ha… / MHS

(Dimuat sebagai artikel satu halaman di dalam majalah Aktuil no. 126 penerbitan tahun 1973).

(Newsmusik, 04/08/2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...