Laman

Minggu, 13 November 2016

GURUH GIPSY : Salah Satu Inspirator Musik Rock Progresif Indonesia




Dari judul albumnya saja sudah mengundang imajinasi, Kesepakatan Dalam Kepekatan. Album eksperimental ini memang sarat dengan simbol. Pertama, musiknya mempertemukan etnik Bali yang berpola pada nada pentatonis dengan kultur Eropa yang berpola pada nada diatonis. Persilangan ini memberi rangsangan kepada Guruh Gipsy untuk mengekploitasi bebunyian hingga ke titik maksimal. Salah satu lagunya, “Chopin Larung”, memperlihatkan hasil pergulatan tersebut. Secara sederhana, temanya menceritakan kemurkaan Dewa Laut. Chopin digambarkan kebingungan karena tidak memahami jika bangsanya merusak seni budaya. Ungkapan ini seperti merefleksikan kerisauan Guruh atas tercemarnya seni budaya Bali oleh serbuan budaya asing yang dalam hal ini disimbolkan melalui sosok Chopin. Untuk mendekati orisinalitas, liriknya pun sengaja menggunakan bahasa Bali. 

Sangat tidak mudah memadukan dua karakter melodi ke dalam sebuah komposisi tanpa saling mengalahkan. Dalam proses penggarapan, lagu ini terpaksa harus direkam ulang karena persoalan teknis. Begitu juga dengan “Barong Gundah”. Untuk diketahui, Studio Tri Angkasa saat itu masih menggunakan sistem rekam 16 track. Merealisasikan gagasan melalui piranti yang serba terbatas tentu rentan kendala. Tidak heran jika pengerjaan pun berlangsung lebih satu tahun. Tepatnya mulai Juli 1975 sampai November 1976. Sebuah proyek ambisius yang sangat menguras energi. 

Album Kesepakatan Dalam Kepekatan merupakan hasil kolaborasi Guruh Sukarno Putera dan grup Gipsy dengan formasi Chrisye (vokal, bass), Odink Nasution (gitar), Abadi Soesman (keyboard), Roni Harahap (piano) serta Keenan Nasution (drum). Cikal bakalnya sudah lahir pada 1966 dengan nama Sabda Nada dan telah mengalami pergantian personel berulang kali. Pada tahun 1973 mereka pernah mengisi acara di restoran Ramayana milik Pertamina di New York. Sejak tahun 1970-an Gipsy sudah bersentuhan dengan musik Bali. 

Simbol lain yang lebih tegas diperlihatkan oleh penampakan kaligrafi Dasa Bayu pada sampulnya. Kongkritnya berupa rangkaian 10 aksara Bali yang memiliki arti dan makna tertentu. Yaitu I-A berarti kejadian dan keadaan, A-Ka-Sa berarti kesendirian dan kekosongan, Ma-Ra berarti baru, La-Wa berarti kebenaran dan Ya-Ung berarti sejati. Sejak zaman dahulu, simbol tersebut dimaknai sebagai suatu keadaan hampa atau kosong yang kelak akan berubah menjadi kebenaran yang hakiki. Nampaknya dari sinilah inspirasi untuk judul album diperoleh. Menduga-duga kan boleh saja.

Bersandar pada simbol tersebut, Guruh Gipsy secara sadar telah memasuki wilayah serius. Selain penggunaan bahasa Bali untuk penulisan lirik, album ini hampir sepenuhnya menggunakan bahasa sansekerta untuk penjudulan. Salah satunya “Smaradhana” (Asmara Membara) yang pernah dibawakan kembali oleh Chrisye pada album Sabda Alam (Musica, 1980). 

Kolaborasi Guruh Gipsy memang tak berkelanjutan. Namun dengan hanya satu album ini, kelompok anak muda tersebut telah melahirkan sebuah mahakarya yang pencapaian nilai artistiknya tidak lekang oleh zaman. Guruh Gipsy diakui sebagai salah satu inspirator bagi bermunculannya band rock progresif di tanah air. 

Belakangan, Bubi Chen melanjutkan langkah membuat persilangan seperti ini dengan menggaet Uking Sukri, maestro kesenian Sunda, untuk berduet dalam Kedamaian (Hidayat, 1989). Bagaimana pertautan harmoni antara piano dengan suling di album ini digambarkan almarhum Harry Roesli sebagai “sebuah dialog yang ramah”. Harry Roesli pun terbilang musisi yang rajin mengawinkan seni tradisional Sunda dengan musik kontemporer. 

Masih tentang ranah Parahyangan, kelompok Karimata terbukti pernah mengundang Bob James untuk lagu “Paddi Field” dari album Jezz (Aquarius, 1991). Etnik Sunda kembali naik pamor setelah Krakatau memadukannya dengan irama jazz rock dan melakukan tur keliling Eropa. 

Jauh sebelumnya, langkah semacam ini sesungguhnya sudah dilakukan pemusik asal Kanada Collin McPhee dengan mengeksploitasi perangkat gamelan berjudul Tabuh-tabuhan (1934). Ada pula Ray Manzarek, keyboardis The Doors, lantas mengikutinya melalui album The Golden Scarab (1973). 

Dalam konteks persilangan musik etnik Bali, Guruh Gipsy sebenarnya bukanlah musisi pertama. Pada tahun 1975 pemusik eksperimetalis Jerman Eberhard Schoener telah merilis Bali Agung. Jon Anderson, vokalis Yes, juga pernah memasukkan bebunyian etnik Bali ini pada koda “Unlearning” dari album Animation (1982). Namun tetapi langkah Guruh Gipsy, yang tentu saja memiliki kedalaman lebih baik dibanding Eberhard Schoener mau pun Jon Anderson, tetap memberi arti penting bagi perkembangan sejarah musik Indonesia. Tidak lama setelah dirilis, Kesepakatan Dalam Kepekatan menjadi topik diskusi para penggemar musik progresif di Jepang, Eropa dan Amerika.

1 komentar:

  1. tribute to Indonesian Legends https://www.youtube.com/watch?v=1qb_9XfmQI0

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...