Laman

Selasa, 06 Desember 2016

THE GEMBELLS : Mengenang ‘Gembel’ Berbakat Yang Nasionalis




Bukannya tak bisa move on, namun ketika kita berbicara soal band-band lawas, rasanya mulut kita urung berhenti untuk mengagung-agungkannya. Ini termasuk ketika kita membahas soal kreativitas, ide, dan keidealisannya; mengingat zaman dulu belum ada internet, pecinta musik belum seramai saat ini, pemerintahan yang tak mendukung, dan problematika lain-lain. Adalah The Gembells, sebuah band yang tanpa dibantu oleh teknologi, pada masa itu, dapat dengan bebas jumawanya bermusik secara all-out ­dan melanglangbuana di tanah air dan negara-negara tetangga.

The Gembells lahir di tahun 1969, saat seorang anak bangsawan Tapanuli Selatan yang merantau ke Tanah Jawa, Victor Nasution (vokal-gitar), ingin menyalurkan ekspresinya lewat sebuah musik. Darah seni dari sang orangtua, sukses mengalir jua dalam tubuhnya. Lalu seiring berjalannya waktu. Diawali di Bogor, karena Victor mengikuti kakaknya yang hijrah ke Surabaya, ia pun melanjutkan sekolahnnya di sana. Takdir menentukan bahwa bakat seninya akan terhimpun di Timur Jawa ini; disinilah perjalanan The Gembells dimulai. Merupakan akronim dari kata “Gemar Belajar”, band ini tak pernah konsisten dalam menaruh personil sampai pada tahun 1970, dengan anggota Minto (drum), Rudy (gitar), Abu Bakar (bass), dan Anas Zaman (keyboard).

Mengusung genre yang disebut “Afro Asia Sound” (perpaduan antara perkusi ala Afrika dan nuansa lirik dan melodi Asia nan sentimental), The Gembells bukan sembarang band biasa. Entah pengaruh dari Surabaya sendiri yang merupakan kota pahlawan atau bukan, Victor cs senang sekali mengangkat tema kepahlawanan dalam hampir semua lagunya, terkhusus tentang kota berlambang hiu-buaya tersebut. Simak lagu “Pahlawan Yang Dilupakan”, tentang pengalaman Victor ketika bertemu pengamen tua berseragam tentara, yang ternyata ia merupakan seorang veteran ’45 dan mengamen demi menyambung kehidupannya. Tak luput jua, lagu penghormatan kepada Untung Surapati, pahlawan asal Kota Malang, Jawa Timur, ia buatkan lagu dengan judul nama pahlawan itu sendiri.

Dasar musisi jaman dulu, belum keren kalau belum jadi sosok yang ‘bedebah’. Pengertian kata ‘bedebah’ disini, dibarengi pula dengan tindakan yang logis. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada saat itu sempat dibuat geram dengan lagu “Hey Dokter”, sebuah anthem berisikan kritikan akan profesionalisme seorang dokter. Begini kurang lebih, sepenggal liriknya:

“Kau mencampakkan dirimu/Namun acuh berlalu/Hambar wajahmu mengkhianati/Kau alpakan akan sumpahmu!” 

Lagu tersebut, secara detilnya bercerita soal kisah nyata perlakuan dokter yang menyimpang ketika menangani pasien yang tidak mampu secara finansial.

Ada lagi tembang yang mengkritik keras soal penggusuran pedagang kaki lima di Surabaya, berjudul “Peristiwa Kaki Lima”. Lagu ini sukses membuat kelima personil The Gembells dipanggil oleh Walikota Surabaya saat itu, karena terlalu gamblang dalam mengkritik. Sanksi tak sampai disitu saja; RRI Surabaya juga atas koordinasi pemerintah setempat, melarang lagu itu untuk mengudara.

Semangat kepahlawanan dan protes dari The Gembells, perlahan turun hari demi hari. Akhirnya tahun 1987 adalah tahun dimana The Gembells benar-benar non-aktif tapi belum dinyatakan bubar secara resmi—bahkan sampai saat ini. Masing-masing personil masih solid sampai saat ini, meski memiliki kesibukan yang berbeda.

Pada detik ini, semua memang memiliki idealisme dalam bermusik sekalipun itu sepele. Yang bergerak secara independen, mereka fokus dalam membuat lagu-lagu bertemakan kritikan. Sama halnya seperti The Gembells, namun ada satu pembeda: Victor dkk, disamping mengkritik, juga coba mengharumkan nama bangsannya lewat lagu-lagu bertema kepahlawanan (banyak terdapat di album Vol.4: Surapati Wiranegara). Musisi saat ini, menurut Anda, apakah masih ada yang bisa ‘seimbang’ seperti itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...