Laman

Selasa, 06 Juni 2017

KEENAN NASUTION




Musik adalah dunia Keenan Nasution. Dia tetap tak terpisahkan dengan dunia yang digemarinya sejak kecil. Ayahnya almarhum Saidi Hasjim Nasution adalah penggemar musik klasik bahkan beliau mampu menggesek dawai biola. Rada Krishnan Nasution, demikian nama berbau India yang diberikan sang ayah pada Keenan yang lahir pada tanggal 5 Juni 1952. 5 dari 6 bersaudara keluarga Nasution yang seluruhnya lelaki kemudian mulai bermain band. Dimulai dari putera kedua Zulham Nasution yang kerap dipanggil Joe Am mulai membentuk band bersama Pontjo Soetowo, Edit, Eddy Odek, Ronald dan Chrisye tetangga mereka di Pegangsaan termasuk putera ketiga Gauri Nasution di tahun 1966 dengan nama Sabda Nada. Di era ini lagu-lagu bertema instrumental gitar tengah mewabah seperti yang digaungkan kelompok The Shadows maupun The Ventures.

Menjelang akhir era 60-an Sabda Nada bermetamorfosa menjadi Gipsy Band dengan perubahan formasi dengan masuknya Keenan Nasution (drum, vokal), Onan Soesilo (organ), Tammy Daudsyah (flute, saxophone, vokal), almarhum Christian Rahadi (bas, vokal), Gauri Nasution (gitar) dan almarhum Atut Harahap (vokal). Gipsy memang mencoba tampil beda dengan band-band lain yang tengah menjamur di Jakarta.Saat itu. Gipsy memilih genre psychedelic dan blues rock dalam repertoarnya. Mereka membawakan repertoar milik Chicago seperti “Low Down”, Keef Hartley dengan “Too Much Thinking” atau “Not Wise Not Foolish” bahkan King Crimson dengan “I Talk To The Wind” yang saat itu memang jarang dimainkan anak band. Citra Gipsy memang menjadi eksklusif, apalagi ketika mereka mulai membawakan “I Will Bring The Flower In The Morning” dari grup Blond hingga “I Love You More Than You’ll Ever Know” serta repertoar Jimi Hendrix.” Saat itu kita pun mulai membawakan lagunya The Allman Brothers Band seperti “Whipping Post” atau “It’s Not My Cross To Bear” ungkap Keenan Nasution yang kini memiliki 7 putera puteri hasil pernikahan dengan penyanyi dan bintang film Ida Royani di tahun 1979.


Rumah dibilangan Pegangsaan memang menjadi komunitas tempat anak muda nongkrong. Bermain band, ngobrol musik sembari menyimak album-album rock yang baru beredar dalam bentuk piringan hitam. Keluarga Saidi Hasjim tak seperti orang tua jaman dulu yang menabukan putera-puteranya bermain musik.

Pola permainan Gipsy yang agak berbeda ini ternyata menyita perhatian pemusik Mus Mualim yang kebetulan bermukim di Jalan Sukabumi, tak jauh dari Jalan Pegangsaan. Mus yang beristerikan Titik Puspa itu malah menggagas ingin berkolaborasi dengan anak-anak Gipsy di pentas Taman Ismail Marzuki (TIM).

Saat itu pula di kediaman keluarga Nasution juga bermukim I Wayan Suparta Widjaja seniman Bali yang pernah menikah dengan bintang film Chitra Dewi. Dari Wayan Suparta inilah Keenan menyerap musik tradisional Bali. Keenan mulai tertarik mempelajari perangai gamelan Bali yang agresif.

Di tahun 1972 setelah berpulangnya vokalis Gispy Atut Harahap, mulailah babak baru dalam proses kesenimanan Keenan Nasution dengan diajaknya Gipsy oleh Dirut Pertamina alm Ibnu Soetowo untuk menjadi homeband di Ramayan Restaurant yang berada di kawasan Manhattan New York City, Amerika Serikat.


Dengan formasi yang berubah, bertolaklah Gipsy ke Amerika dengan dukungan Keenan Nasution (drum), Christian Rahadi (bas), Rully Djohan (organ), Lulu Soemaryo (saxophone), Gauri Nasution (gitar) dan almarhum Adjie Bandie (biola) mantan personil kelompok Cockpit dan C’Blues. Di Restauran yang dikelola Pertamina itulah Keenan dan kawan –kawan mengasah kemampuan bermusik. Saat itu Gipsy menjadi pengiring penyanyi kawakan Indonesia Bob Tutupoly.

Di kala senggang Keenan berburu piringan hitam dan nonton konser. ”Saya mulai mengenal album Genesis di Amerika dan nonton konser Blood Sweat & Tears serta grup art rock Inggris Yes” jelas Keenan Nasution. Dari menyimak dan menonton konser musik, semakin membenamlah referensi musik pada benak Keenan Nasution.

Kelak referensi musik yang dicernanya di Amerika yang menjadi inspirasi utamanya dalam bermusik. Sepulang dari Amerika pada tahun 1973, Keenan yang mencoba membentuk Gipsy malah ikut mendukung Young Gipsy grup yang dibentuk kedua adik kandungnya Aumar Nauddin Nasution (gitar) dan Debi Murti Nasution (bas dan keyboard) bersama almarhum Narry.


Setahun kemudian tepatnya tahun 1973 kedua adik Keenan malah dipinang Achmad Albar dan Donny Gagolla untuk mendukung formasi God Bless yang lowong karena ditinggal Ludwig LeMans dan Deddy Dorres. Tak lama berselang,Keenan malah menyusul kedua adiknya masuk God Bless setelah dua personil God Bless Fuad Hassan (drum) dan Soman Lubis (keyboard) meninggal karena kecelakaan motor di kawasan Pancoran Jakarta. ”Padahal sebelumnya malah Fuad meminta saya untuk masuk God Bless, karena dia ingin menjadi manajer band saja” tutur Keenan.

Bergabungnya Nasution Bersaudara dalam God Bless memang sedikit agak mempengaruhi repertoar God Bless diantaranya ketika Achmad Albar mulai membawakan lagu-lagu milik Yes, ELP bahkan Focus.

Sayangnya, mereka bertiga – Keenan, Oding dan Debby, hanya bertahan selama setahun saja bersama God Bless. Padahal di tahun itu God Bless tengah merajai panggung pertunjukan rock negeri ini.
 

Keenan sendiri memang ingin mewujudkan obsesi lama : membuat album dengan karya orisinal. Inilah cikal bakal mencuatnya kolaborasi Gipsy dengan Guruh Soekarno Putera. Tersedianya fasilitas studio rekaman 16 track “Tri Angkasa” di kawasan Kebayoran dengan penata rekam handal Alex Kumara semakin mendekatkan impian Keenan pada titik kenyataan. Apalagi pertemuannya kembali dengan sahabat lamanya Guruh Soekarno Putera yang baru saja kembali dari Amsterdam, Belanda mematangkan konsep musik berupa pembauran musik tradisional Bali dan Rock. Ini terjadi tahun 1975. Berbaurlah Guruh Soekarno Putera, Keenan Nasution, Oding Nasution, Roni Harahap, Christian Rahadi dan Abadi Soesman yang kemudian menghasilkan album fenomenal “Guruh Gipsy” yang dirilis pada akhir tahun 1976 dengan menghabiskan waktu pengerjaan lebih dari setahun.

Setelah proyek Guruh Gipsy selesai, Keenan masih menyimpan sebuah obsesi lagi : bersolo karir. Ini memang sangat memungkinkan. Karena sebetulnya Keenan Nasution adalah sosok seniman musik komplit. Dia menguasai permainan drum, gitar dan piano. Dia pun terampil menggurat komposisi lagu dan disamping menyanyi. ”Suara Keenan khas. Dia lebih tegas dibanding Chrisye” komentar Eros Djarot suatu ketika. ”Saya menyukai timbre vocal Keenan” timpal Donny Fattah, pencabik bass God Bless. Karena kesengsem dengan vokal Keenan, Donny pun mengajak Keenan Nasution untuk bernyanyi di album “D&R”, kolaborasi adik kakak antara Donny dan Rudy Gagola pada tahun 1976. Di album yang juga menampilkan penyanyi Achmad Albar, Djatu Parmawati dan Ida Noor ini, Keenan menyanyikan lagu bertajuk “Cindy”, sebuah lagu yang ditulis Donny Fattah bersama Theodore KS yang mengisahkan tentang bayi pertama Donny dan Rini Noor bernama Cindy.


Bersama penulis lirik Rudi Pekerti, Keenan Nasution tertarik untuk ikut dalam Festival Lagu Pop Indonesia pada tahun 1977. Salah satu lagu karya Keenan bersama Rudi Pekerti ternyata masuk final yaitu lagu yang bertajuk “Di Batas Angan-Angan”. Sayangnya, lagu yang diimbuh narasi berbahasa Jepang itu tidak berhasil menjadi juara. Adapun yang menjuarai adalah “Damai Tapi Gersang” yang ditulis oleh mantan Gipsy yaitu almarhum Adjie Bandi.

Angan angan untuk mewujudkan sebuah album solo masih bergaung. Keenan lalu mengajak sahabat-sahabatnya mulai dari Guruh Soekarno Putera, Junaedi Salat, Yanto, Narry, Abadi Soesman, Harry Minggoes, Rudi Pekerti, Trio Bebek serta dua saudaranya Gauri Nasution dan Debby Nasution untuk bahu membahu merampungkan proyek album solo perdananya bertajuk “Di Batas Angan-Angan” yang dirilis Gelora Seni dan Duba Record. Di album ini Keenan pun menyertakan dua anak SMA III sebagai pendukung musiknya : Addie MS dan Fariz RM.

Album ini berhasil melejitkan dua hits yaitu “Nuansa Bening” dan “Zamrud Kahtulistiwa” yang ditulis Guruh Soekarno Putera.

Pada saat yang bersamaan Chrisye pun meluncurkan album solo perdanya “Sabda Alam” pada label Musica Studios yang juga didukung oleh Keenan Nasution (drums), Yockie Soerjo Prajogo (keyboards), Roni Harahap (piano) serta composer Junaedi Salat dan Guruh Soekarno Putera.

Di era ini, focus memang tertuju pada kiprah pemusik yang bermukim di wilayah Pegangsaan terutama ketika di tahun 1977 Eros Djarot bersama dukungan Chrisye, Berlian Hutauruk, Yockie Soerjo Prajogo, Debby Nasution, Fariz RM dan Keenan Nasution berhasil menggebrak industri musik pop Indonesia dengan kehadiran album fenomenal “Badai Pasti Berlalu”.

Sukses dalam kualitas dan kuantitas, membuat sebuah gagasan baru yaitu para pemusik yang terlibat dalam album Badai Pasti Berlalu akan tampil di pentas pentas pertunjukan. Momentum itu bermula ketika mereka diminta tampil pada acara yang digagas Sys NS dkk “Dapur Musik Betawi”. Sys NS dengan seenaknya lalu memberi nama “Badai Band” kepada band yang bermarkas di Pegangsaan tersebut.


Badai Band bahkan tampil dengan iringan orkestra yang dipimpin Idris Sardi dalam konser “Musik Saya Adalah Saya” yang diprakarsai Yockie Soerjo Prajogo di Balai Sidang Senayan Jakarta 1979.

Keenan tampaknya konsisten dalam bersolo karir. Di tahun 1979 Keenan merilis “Tak Semudah Kata Kata” yang didukung oleh Roni Harahap (piano), Chrisye (bas), Oding Nasution (gitar), Jerry Sudiyanto (gitar) serta Rudi Pekerti (penulis lirik) dan Ida Royani (vocal) yang kelak menjadi isterinya.

Pernikahannya dengan Ida Royani di tahun 1979 tak mengungkung visi bermusik Keenan Nasution. Roy Marten bahkan mengajak Keenan untuk mengisi music score film bertema anak muda “Roda Roda Gila” (1979) yang dibintangi Roy Marten, Yati Octavia dan Rudi Salam. Album demi album pun digarap Keenan seperti “Akhir Kelana” (1980), ”Beri Kesempatan” (1981), ”42nd Street” (1982), ”Dara Dara” (1984), ”Dulu Lain Sekarang Lain” (1985), ”Kupu Kupu Cinta” (1986) dan “Bunga Asmara” (1990).

Bersama sang isteri Ida Royani, Keenan sempat merilis dua album duet “My Love” dan “Romansa”. Keenan pun ikut bergabung dalam “Gank Pegangsaan” (1989) kelompok yang diprakarsai Debby Nasution untuk mengajak kembali sederet pemusik Pegangsaan yang saat itu tengah berpencar dengan tujuan masing-masing. Gank Pegangsaan yang didukung Debby Nasution, Keenan Nasution, Harry Sabar, Harry Minggoes, Eet Syahrani, Andy Ayunir, Molly Gagola, Sitoresmi dan banyak lagi ini berhasil melejitkan hits “Dirimu” karya Harry Minggoes yang dinyanyikan Keenan Nasution.


Memasuki era 90-an Keenan Nasution mulai menghilang dari industri musik pop. Meskipun ia tidak sama sekali meninggalkan musik. Keenan bahkan sempat membentuk Next Band, sebuah band panggung yang didukung Freddie Tamaela, Raidy Noor, Armand Maulana, Oding Nasution, Rani Trisuci Kamal hingga Andy Ayunir.

Bahkan sejak tahun 1997 Gipsy muncul lagi dengan formasi Keenan Nasution, Oding Nasution, Gauri Nasution, Onan Soesilo dan Tammy Daudsyah. Pemunculan Gipsy lebih banyak pada pola reuni baik di panggung pertunjukan maupun di TVRI. Tapi sesungguhnya reuni Gipsy yang paling mengharukan justeru terjadi pada Agustus 2006 ketika Chrisye yang duduk di kursi roda ikut manggung dengan menyanyikan sebuah lagu dari The Casual “Jasamine”. Sebelumnya, Guruh Gipsy bahkan tampil dalam acara malam dana untuk membantu Chrisye yang tengah mengidap kanker pada akhir tahun 2005. Di layar RCTI Guruh Gipsy dengan formasi Keenan Nasution, Guruh Soekarno Putera, Oding Nasution, Roni Harahap, Abadi Soesman dan Raidy Noor, adik ipar Chrisye yang menggantikan posisi Chrisye, tampil membawakan lagu “Indonesia Maharddhika” dan “Chopin Larung”.

Di tahun 2007, Keenan bertekad ingin kembali ke industri musik pop dengan merilis album “Apa Yang Telah Kau Buat” serta konser “Nuansa Bening” 5 Mei 2007 di Balai Kartini. Selain didukung sahabat lama seperti Addie MS, Harry Sabar, Fariz RM, Roni Harahap dan lainnya, Keenan pun didukung pemusik era sekarang seperti Ada Band, Marcel, Nugie dan Daryl Nasution yang merupakan putera kandung Keenan Nasution dan Ida Royani. Like father, like son ! (DS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...