Laman

Kamis, 20 Desember 2018

KARTIKA JAHJA


Kartika Jahja di dunia musik, dikenal sebagai Tika lahir di Jakarta pada 19 Desember 1980, ia adalah seorang penyanyi independen dengan grup musik Tika and The Dissidents dan penggiat kesetaraan gender. Di luar musik dan aktivisme, Tika juga seorang penulis, pemeran, dan wiraswastawati. Pada bulan November 2016, nama Kartika Jahja termasuk dalam "BBC 100 Women", sebuah daftar berisi 100 perempuan yang dianggap paling menginspirasi dari seluruh dunia pilihan BBC.

Tika dikenal sebagai penyanyi dan penulis lagu dengan karakter vokal yang unik dan kuat. Gaya penulisan lagunya pun tak kalah unik. Banyak yang mempertanyakan pilihannya di jalur independen yang dinilai kurang komersial. Namun Tika tetap konsisten di jalur independen karena di sinilah ia bisa bebas berkarya dengan jujur.

Sekembalinya ke tanah air dari studinya di the Art Institute of Seattle di mana ia sempat bergabung dengan band Yoko Phono dan Rhea Sisters Project, hal pertama yang dilakukan Tika adalah menggarap album solonya. Dengan bantuan beberapa kawannya, antara lain Iman Fattah, Aghi Narottama, Bemby Gusti dan Age Airlangga. Ia melepas album solo perdananya pada tahun 2005. Album bertajuk Frozen Love Songs ini cukup mengejutkan industri musik lokal yang saat itu belum terbiasa dengan hadirnya penyanyi solo perempuan yang keluar dari jalur pop. Pada tahun 2006 Aksara Records kemudian mengemas ulang album ini dan merilisnya dengan judul Defrosted Love Songs.

Vokalnya juga banyak mengisi berbagai scoring dan soundtrack film, di antaranya Janji Joni, 9 Naga, Berbagi Suami, Kala, Gara-gara Bola, Perempuan Punya Cerita, Quickie Express dan Pintu Terlarang. Ia juga sempat berkolaborasi sambil menimba ilmu bersama beberapa musisi seperti Sri Aksan Sjuman, Jamie Aditya, Slank, Navicula, Andi Rianto dan lain-lain.

Tahun 2009, Tika kembali fokus kepada proyek musiknya sendiri. Bersama bandnya, Tika and The Dissidents, mereka merilis album the Headless Songstress di bulan Juli 2009. Album ini mendapat tanggapan yang luar biasa dan pujian dari penggemar musik dan media, baik nasional maupun internasional. Tika and The Dissidents mendapat perhatian karena perpaduan unik berbagai jenis musik- mulai jazz, blues, punk hingga waltz dan tango dengan lirik-lirik yang cerdas dan politis. Tika mengangkat berbagai isu, seperti LGBT, kesetaraan gender, gerakan buruh, hingga peran televisi dalam pembantaian intelektualitas masyarakat Indonesia. Majalah TIME Asia menjuluki Tika sebagai “Indonesia’s hottest diva”. Majalah musik Rolling Stone menyebutnya sebagai “Penyanyi solo perempuan independen terbaik yang dimiliki (Indonesia)”. Pada tahun 2009, Tika and The Dissidents dipilih Majalah Tempo sebagai “Tokoh Seni Musik 2009” dan album the Headless Songstress sebagai “Album of the Year 2009”. Ia juga masuk ke dalam jajaran "30 Women Who Rock" versi majalah Rolling Stone Indonesia.

Tahun 2016 Tika and The Dissidents kembali merilis album bertajuk MERAH. Album MERAH memuat enam lagu yang padat makna, antara lain: Unlearn the Fight, Lies My Teacher Told Me, Hawaiian Chicken Jam, Pukul Rata, A Normal Song, dan single pertama berjudul Tubuhku Otoritasku. Tahun 2016 ia kembali dipilih majalah TEMPO sebagai Perempuan Penembus Batas dalam bidang seni dan budaya karena karya-karya musik dan aktivismenya yang mengangkat isu-isu gender.

Pada tahun 2013 Tika bergabung dengan gerakan global anti kekerasan terhadap perempuan, One Billion Rising. Ia mengorganisir One Billion Rising Indonesia bersama beberapa aktivis dan seniman di Jakarta. Sejak itu ia memutuskan untuk memfokuskan aktivismenya pada isu perempuan dan kekerasan berbasis gender. Mulai tahun 2014, Tika menjadi pendamping sosial bagi perempuan-perempuan korban kekerasan. Ia kemudian mendirikan Yayasan Bersama Project pada tahun 2015 yang giat melakukan edukasi publik tentang kesetaraan gender melalui musik, seni, dan kultur pop. Tika juga tergabung dalam beberapa kolektif perempuan, di antaranya Kolektif Betina dan Mari Jeung Rebut Kembali.

Selain aktif bermusik, Kartika Jahja juga berwiraswasta, menulis, dan berakting dalam beberapa film dan produksi teater. KEDAI, sebuah kafe miliknya yang ditata menggunakan bahan-bahan daur ulang, menyajikan kopi dan panganan khas Indonesia. Keunikan KEDAI juga diulas banyak media, di antaranya jaringan CNN dan berbagai program televisi lainnya.

Tika juga seorang penulis lepas dan pernah mengasuh kolom mingguan di surat kabar berbahasa Inggris the The Jakarta Post bernama Street Smart, tentang gaya hidup masyarakat Jakarta dari sudut pandang yang satir.

Pada tahun 2008 ia menerima tawaran untuk berakting. Film pertama yang ia bintangi, “Kado Hari Jadi” (sutradara Paul Agusta) diputar di banyak festival film internasional. Ia juga terlibat dalam film “Pintu Terlarang” (sutradara Joko Anwar) yang juga meraih sukses internasional. Film terakhir yang ia bintangi “At the Very Bottom of Everything” , juga besutan sutradara Paul Agusta, mendapatkan dukungan dari Hubert Bals Fund – International Film Festival Rotterdam. Tahun 2015, Tika terlibat dalam produksi teater garapan Institut Ungu yang berjudul "SUBVERSIF", sebuah adaptasi dari naskah "Enemy of The People" karya Henrik Ibsen. Pada tahun yang sama, Tika juga pertama kali terlibat dalam pameran seni rupa yang digagas Dewan Kesenian Jakarta yang bertajuk "Wani Ditata Project".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...