Bukannya
tak bisa move on, namun ketika
kita berbicara soal band-band lawas, rasanya mulut kita urung berhenti untuk
mengagung-agungkannya. Ini termasuk ketika kita membahas soal kreativitas, ide,
dan keidealisannya; mengingat zaman dulu belum ada internet, pecinta musik
belum seramai saat ini, pemerintahan yang tak mendukung, dan problematika
lain-lain. Adalah The Gembells,
sebuah band yang tanpa dibantu oleh teknologi, pada masa itu, dapat dengan bebas
jumawanya bermusik secara all-out dan
melanglangbuana di tanah air dan negara-negara tetangga.
The Gembells lahir di tahun 1969, saat seorang
anak bangsawan Tapanuli Selatan yang merantau ke Tanah Jawa, Victor Nasution
(vokal-gitar), ingin menyalurkan ekspresinya lewat sebuah musik. Darah seni
dari sang orangtua, sukses mengalir jua dalam tubuhnya. Lalu seiring
berjalannya waktu. Diawali di Bogor, karena Victor mengikuti kakaknya yang
hijrah ke Surabaya, ia pun melanjutkan sekolahnnya di sana. Takdir menentukan
bahwa bakat seninya akan terhimpun di Timur Jawa ini; disinilah perjalanan The Gembells dimulai. Merupakan
akronim dari kata “Gemar Belajar”, band ini tak pernah konsisten dalam menaruh
personil sampai pada tahun 1970, dengan anggota Minto (drum), Rudy (gitar), Abu
Bakar (bass), dan Anas Zaman (keyboard).
Mengusung
genre yang disebut “Afro Asia
Sound” (perpaduan antara perkusi ala Afrika dan nuansa lirik dan melodi Asia
nan sentimental), The Gembells
bukan sembarang band biasa. Entah pengaruh dari Surabaya sendiri yang merupakan
kota pahlawan atau bukan, Victor cs senang sekali mengangkat tema kepahlawanan
dalam hampir semua lagunya, terkhusus tentang kota berlambang hiu-buaya
tersebut. Simak lagu “Pahlawan Yang Dilupakan”, tentang pengalaman Victor
ketika bertemu pengamen tua berseragam tentara, yang ternyata ia merupakan
seorang veteran ’45 dan mengamen demi menyambung kehidupannya. Tak luput jua,
lagu penghormatan kepada Untung Surapati, pahlawan asal Kota Malang, Jawa
Timur, ia buatkan lagu dengan judul nama pahlawan itu sendiri.
Dasar
musisi jaman dulu, belum keren kalau belum jadi sosok yang ‘bedebah’.
Pengertian kata ‘bedebah’ disini, dibarengi pula dengan tindakan yang logis.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada saat itu sempat dibuat geram dengan lagu
“Hey Dokter”, sebuah anthem berisikan
kritikan akan profesionalisme seorang dokter. Begini kurang lebih, sepenggal
liriknya:
“Kau mencampakkan dirimu/Namun acuh berlalu/Hambar
wajahmu mengkhianati/Kau alpakan akan sumpahmu!”
Lagu
tersebut, secara detilnya bercerita soal kisah nyata perlakuan dokter yang
menyimpang ketika menangani pasien yang tidak mampu secara finansial.
Ada
lagi tembang yang mengkritik keras soal penggusuran pedagang kaki lima di
Surabaya, berjudul “Peristiwa Kaki Lima”. Lagu ini sukses membuat kelima
personil The Gembells dipanggil
oleh Walikota Surabaya saat itu, karena terlalu gamblang dalam mengkritik.
Sanksi tak sampai disitu saja; RRI Surabaya juga atas koordinasi pemerintah
setempat, melarang lagu itu untuk mengudara.
Semangat
kepahlawanan dan protes dari The
Gembells, perlahan turun hari demi hari. Akhirnya tahun 1987 adalah
tahun dimana The Gembells
benar-benar non-aktif tapi belum dinyatakan bubar secara resmi—bahkan sampai
saat ini. Masing-masing personil masih solid sampai saat ini, meski memiliki
kesibukan yang berbeda.
Pada
detik ini, semua memang memiliki idealisme dalam bermusik sekalipun itu sepele.
Yang bergerak secara independen, mereka fokus dalam membuat lagu-lagu
bertemakan kritikan. Sama halnya seperti The Gembells, namun ada satu pembeda: Victor dkk, disamping
mengkritik, juga coba mengharumkan nama bangsannya lewat lagu-lagu bertema
kepahlawanan (banyak terdapat di album Vol.4:
Surapati Wiranegara). Musisi saat ini, menurut Anda, apakah masih ada
yang bisa ‘seimbang’ seperti itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar