Rockabilly. Bukan
sebuah term yang akrab di
telinga anak–anak nusantara zaman sekarang. Tapi justru corak yang fondasinya
memadukan blues dan country inilah yang diam–diam menyelipkan nama Indonesia ke
jagad musik Internasional sejak dekade 1950an hingga saat ini.
MENYEBUT nama Elvis Presley, Carl Perkins atau Bill Haley
bukanlah sesuatu yang aneh jika berbincang tentang rockabilly. Ketiganya memang sosok terkenal dalam corak musik
yang booming ketika perang
Vietnam mulai meletus ini. Rockabilly
menjadi juragan dalam pelataran musik Amerika Serikat pada dekade 1950an dengan
hits–hits seperti ‘Rock Around The Clock’, ‘Jailhouse Rock’ atau ‘Blue Suede
Shoes’.
Meskipun masa jayanya tak terlalu lama, namun rockabilly sukses menyebar ke seluruh
dunia termasuk ke Inggris. Konon rockabilly-lah
yang menginspirasi terbentuknya The Beatles setelah mereka mendengarkan
lagu–lagu musisi rockabilly
Amerika.
Agak meredup saat memasuki era 1960an, rockabilly sempat kembali menjulang
pada awal 1970an, meski tak segagah pada masa jayanya di pertengahan 1950an.
Pelaku – pelaku rockabilly saat
itu seperti Creedence Clearwater Revival (CCR) dan Dave Edmunds cukup mendulang
hasil positif dengan hits–hits mereka seperti ‘Have You Ever Seen The
Rain?’ dan ‘I Knew The Bride’. Peran film – film Amerika yang bertutur tentang
kultur rock and roll seperti ‘American Graffiti’ juga ikut mengangkat kembali
popularitas rockabilly pada
masa itu.
Pada akhir 90an hingga awal 2000an muncul beberapa band yang
bernuansa blues rock atau country rock yang kerap disebut
mendapat pengaruh dari rockabilly
seperti Kings Of Leon dan White Stripes. Hal ini menunjukkan, komposisi rockabilly memiliki pengaruh terhadap
generasi selanjutnya, meski tidak dalam bentuknya yang sejati.
Pengaruh rockabilly di era jayanya dulu, menghipnotis jutaan anak
muda di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Pada dekade 1950an, Indonesia pernah punya The Tielman
Brothers yang sampai kini kerap disebut sebagai band rock pertama Indonesia
yang bisa berkiprah di dunia internasional. Terbentuk pada 1946, Tielman
Brothers kemudian memutuskan hijrah ke Belanda dan mencapai puncak karirnya di
benua biru pada dekade 1950an. Musik mereka yang bermain-main di area rockabilly dan rock n’roll serta indigenous mereka yaitu Indonesia
membuat mereka kerap disebut sebagai band Indorock [bersambung].
Popularitas Tielman Brothers –kini semua personelnya sudah meninggal
dunia—cukup mendunia. Meski berasal dari negara yang tidak mengenal budaya
rockabilly sebelumnya, tapi penjelajahan musikal mereka menembus batas-batas
keraguan. Lewat mereka istilah indorock sempat mencuat.
INDOROCK memuat dominasi gitar, instrumen yang dikenalkan
orang-orang Portugis saat datang ke Hindia-Belanda [sekarang Indonesia] di abad
ke-16. Permainan gitar ala Portugis yang lalu dikenal sebagai keroncong ini
dipadukan oleh Tielman Brothers dengan musik Hawaiian, country, dan
rock’n’roll. Dengan format musik itulah pemuda – pemuda Maluku ini ‘menjajah’
benua biru. Bahkan ada selentingan bahwa Paul McCartney mengagumi Tielman
Brothers sebelum dia kondang bersama The Beatles. Entah benar atau tidak.
Sekadar informasi, Andy Tielman sendiri pernah manggung di
Jakarta tahun 2008 silam, dalam salah satu festival rock. Pria yang dijuluki godfather of indorock ini sempat
mengatakan, banyak band Indonesia yang bagus, tapi sayangnya tidak banyak yang
bisa go international. Ketika
itu, Tielman yang tumbuh besar di Surabaya ini membawakan beberapa lagu, salah
satunya lagu Sunda ‘Panon Hideng’ yang diubahnya jadi bahasa Inggris, ‘Black
Eyes’.
Saat ini, meski perkembangan rockabilly memang tak semengkilap seperti
pada era 1950an namun penikmat dan juga pengusungnya tak lantas ikut meredup.
Khusus di Indonesia, saat ini rockabilly punya penjaga setia dalam sosok band – band seperti
Suicidal Sinatra atau The Hydrant yang kiprahnya juga cukup bergaung di luar
negeri. Tak terlalu banyak band seperti mereka –yang memainkan rockabilly mendekati akarnya– di era
masa kini di mana dengan bentuknya yang sudah mendapat sisipan corak musik lain
serta teknologi rekaman yang semakin canggih. Rockabilly pada era masa kini sudah tidak sama lagi dengan predecessor-nya pada era 1950an dulu.
Rockabilly
yang dimulai oleh Silent Generation yang kebanyakan lahir di era Great
Depression [1929 – 1939] dan populer di era Baby Boomer tepatnya pada dekade
1950an, hingga kini masih memiliki penikmat setia yang tidak hanya dari
generasi kakek–nenek saja, tapi juga anak–anak muda yang lahir jauh setelah era
happeningnya rockabilly. Musik dengan
berbagai macam coraknya memang cenderung punya pengikut loyal masing – masing
dalam perjalanan jaman. Banyak atau sedikit penikmatnya, itu hanya persoalan
kuantitas, tidak mencerminkan kualitas musiknya. [Ariwan K. Perdana]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar