Berapa
banyak grup musik yang benar-benar mau meningkatkan mutu musik dalam rekaman,
tanpa terlalu peduIi pada selera pubilk? Rasanya jari-jari sebelah tangan saja
sudah cukup menghitungnya.
Dua
jari di antaranya boleh kita pakai mewakili 2 nama grup dari Bandung. Satu
untuk The Gang Of Harry RoesIi satu lagi untuk Shark Move. Dalam waktu yang
tidak terlalu berjauhan dua-duanya selesai merekam album-album pertama mereka.
Dua-dua album mereka dicetak dengan cover yang lain dari cover-cover “Grup-grup
Melayu" yang lain.
Boleh
dibilang suatu langkah berani jika mereka tidak memajang tampang-tampang di
cover depan, melainkan menampilkan lukisan-lukisan. Sedikit cerita tentang
cover The Gang Of Harry Roesli bisa anda baca pada artikel tentang grup
tersebut. di halaman lain. Sementara cover Shark Move sendiri menonjolkan satu
artwork bercorak "pop surealis” bikinan seorang "Seniman
sambilan" berambut kelewat panjang yang punya nama Samantha Choqie.
Dari
cover yang macam demikian, mestinya publik yang punya selera tertentu sudah
boleh menduga setidak-tidaknya punya sedikit kepercayaan bahwa isi
album-albumnya bukan tidak mungkin punya selera tertentu yang tidak gampangan.
“Kenapa
kalian bikin cover album macam ginian? Apa tidak takut masyarakat malah segen
buat beli album kalian?”
“Kami
yakin paling tidak masyarakat melihat sesuatu yang lain pada album kami.
Sebutlah ini semacam aksen bagi cover-cover dari grup lain yang semuanya melulu
pameran tampang. Soal laku tidaknya itu adalah risiko. Segalanya bagi kami
hampir merupakan gambling! Kami sendiri tidak yakin apa masyarakat bisa
menerima lagu-lagu kami di dalamnya. Tapi ini tidak berarti bahwa kami sama
sekali mempersetankan selera umum. Satu dua lagu sengaja kami bikin komersil
dalam lirik tapi tidak dengan menurunkan mutu musiknya.”
“Jika
begitu, pendekatan dengan masyarakat kalian lakukan melalui lirik saja?”
“Ya
dan juga tidak! Ya, sebab memang satu dua lagu begitu. Tidak, sebab kami pikir
musik kami tidak bisa disebut menjauhi selera umum. Hanya barangkali kami bisa
disebut tidak terlalu memperhitungkan selera masyarakat banyak dengan misalnya
membikin lagu-lagu cengeng murahan. Kami lebih banyak melepaskan ide-ide kami
demi kepuasan saja.”
Gede Chokra’s
Gede
Chokra’s judul albumnya. Konon bahasa India ini berarti Great Session.
“Kenapa
judulnya kok aneh?”
“Biar
orang penasaran.”
“Memangnya
artinya apa? Ide siapa itu?”
“Great
Session. Itu bahasa India. Anggota kami sendiri Bhagoe yang kasih nama, kebetulan
dia memang keturunan India.”
Great
Session. Barangkali memang benar grup ini merupakan sebuah big session. Soman
Lubis anak Batak dan Benny Subardja anak Sunda dua-duanya orang kuat eks the
Peels. Lalu Yanto setengah Sunda setengah Jawa dan Sammy anak Lampung,
dua-duanya eks Red & White sebuah band yang sebentar nyawanya tapi dikenal
sebagai kelompok musik yang tangguh kalau mereka muncul.
Yanto
sendiri di kotanya lebih dikenal lewat band yang dibentuknya dulu, Diablo.
Orang terakhir adalah nama yang muncul lewat kenekadan yang tidak
tanggung-tanggung. Tanpa pengalaman sama sekali, anggota yang punya nama Baghoe
ini tarik suara dalam lagu ‘Evil War’ ciptaan Benny Subardja. Hasilnya memang
belum boleh dibilang lumayan.
Tapi
si Baghoe ini punya andil yang tidak layak disebut kecil dalam terbentuknya
Shark Move. Dia adalah motor yang memungkinkan terlaksananya rekaman. Sejumlah
uangnya sendiri ia pertaruhkan untuk suksesnya rekaman ini. Dus, dengan kata
lain, vokalis ini merangkap sponsor dan produser tanpa perhitungan untung rugi,
yang bikin kita pantas mengucapkan salut atasnya.
“Apa
yang mendorong kau sampai mau memproduksi rekaman semacam ini?”
“Satu-satunya dorongan adalah kebosanan! Kebosanan melihat dan mendengar hasil rekaman-rekaman grup dalam negeri selama ini. Boleh dikata semuanya asal saja. Dari lagu-lagu cengeng murahan sampai aransemen asal jadi. Saya lihat potensi kawan-kawan saya, Soman, Benny, Yanto dan Sammy cukup kuat, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Mudah-mudahan dalam hal ini saya tidak keliru bertindak.”
“Satu-satunya dorongan adalah kebosanan! Kebosanan melihat dan mendengar hasil rekaman-rekaman grup dalam negeri selama ini. Boleh dikata semuanya asal saja. Dari lagu-lagu cengeng murahan sampai aransemen asal jadi. Saya lihat potensi kawan-kawan saya, Soman, Benny, Yanto dan Sammy cukup kuat, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Mudah-mudahan dalam hal ini saya tidak keliru bertindak.”
“Apa
benar-benar kau yakin, yang kau lakukan ini lebih baik dari produser-produser
lain dan juga yakin bahwa grup ini bisa sedikitnya memberikan warna tersendiri
di antara rekaman-rekaman grup lain?”
“Saya
berusaha untuk meyakini hal ini. Selanjutnya toh masyarakat juga yang menilai,
tapi kami sudah siap dengan segala caci maki.”
“Apa
kira-kira lagu yang kau harap bisa diterima banyak orang?”
“Tidak tahu pasti. Selera masyarakat susah ditebak. Tapi ancer-ancer bisa disebut ‘My Life,’ ‘Butterfly’ dan ‘Bingung.’”
“Tidak tahu pasti. Selera masyarakat susah ditebak. Tapi ancer-ancer bisa disebut ‘My Life,’ ‘Butterfly’ dan ‘Bingung.’”
Kelima
anggota grup ini masing-masing mencipta lagu dan menyanyikannya. Dan yang
paling patut dicatat di sini adalah bahwa Benny Subardja terlihat menonjol
dalam kesanggupannya untuk menciptakan lagu-lagu yang bagus. Soman Lubis membuktikan
ketangguhannya pada organ dan piano, Sammy membuktikan dirinya sebagai drummer
dengan variasi pukulan-pukulan variatif. Sementara Yanto lebih menonjol sebagai
vokalis yang harus diurut di tempat teratas jika kita harus menyusun daftar
vokalis terbaik kota Bandung.
“Saya
lihat tak ada nama-nama pemain pada cover album kalian?”
“Sengaja!
Sekali lagi supaya orang penasaran. Toh orang menikmati musiknya bukan
pemainnya.”
“Apa
kalian ngga pengen beken?”
“Beken
sih sudah…..ha….ha…ha…ha… / MHS
(Dimuat
sebagai artikel satu halaman di dalam majalah Aktuil no. 126 penerbitan tahun
1973).
(Newsmusik,
04/08/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar