Bangun Sugito Tukiman, adalah salah
satu nama dari sekian juta penduduk negeri ini yang terhipnotis oleh musik rock
(barat). Figur The Rolling Stones, dengan lead vocal-nya Mick Jagger, menjadi
idola remaja yang lahir di kota Biak, Papua pada 1 November
1947 dan besar di kota Bandung ini.
Bahkan aksi
nekatnya di tahun 1967, memembuat
kota Bandung gempar, ketika dirinya yang mendapat cap “Siswa Bengal” termasuk
salah satu siswa yang lulus dari SMA-nya, melakukan aksi tanpa busana sambil
naik sepeda motor mengelilingi kota kembang tersebut. Kesukacitaannya
dilampiaskan dengan gaya ala rocker, maklum, daftar kenakalannya lebih panjang
dari daftar absen murid, sehingga ia tak yakin jika namanya akan tertulis di
papan pengumuman seperti teman-temannya yang lulus (tempointeraktif.com).
Selepas SMA, di kota yang sama,
Bangun Sugito Tukiman (vokal) bersama rekan-rekannya, Teuku Zulian Iskandar
Madian (saxophone, gitar), Benny Likumahuwa (trombone, flute), Didiet Maruto
(trumpet), Jimmie Manoppo (drum), dan Oetje F. Tekol (bas) mendirikan band yang
bernama The Rollies. Di era 1970-an, The Rollies semakin eksis dan menunjukkan
taringya sebagai grup band rock handal di tanah air.
Belakangan, setelah sukses dengan
beberapa hits yang sempat bertengger di belantika musik Indonesia, namanya pun
berganti menjadi Gito Rollies. Waktu terus berjalan, anak tangga karir
perlahan-lahan ditapaki satu demi satu. Sanjungan dan pujian, memembuat dirinya telah merasa menjadi
seorang Mick Jagger Indonesia, sosok yang dikagumi dan diidolakannya.
Pria yang sempat mengenyam kuliah
dua tahun di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), terus larut
bersama kebesaran The Rollies. Aksi panggungnya mirip dengan sang idola, suara
serak ala James Brown, bapak moyang soul dan funk, menjadikannya pusat
perhatian. Kesuksesan di panggung telah mengantarkan diri dan kelompoknya di
industri rekaman, pun mengantarkannya menjadi hedonis sejati. “Tiap Jumat siang kami berangkat ke daerah Puncak Bogor untuk pesta miras dan
narkoba,” Ungkap Gito dengan nada sesal.
Di masa ketenarannya, pada awal
tahun 1980, ia menjalin hubungan intim dengan putri seorang aktor dan komedian
besar, Uci Bing Slamet, dan darinya dikaruniai seorang anak lalu berpisah
setelahnya. Bahkan setelah menikah dengan perempuan impor, wanita keturunan
Belanda, Michelle Van der Rest, tahun 1983, ia masih belum bisa melepaskan diri
sepenuhnya dari pengaruh narkotika (AntaraNews).
Setelah bersolo karir, dia
menelorkan sejumlah album solo, yakni Tuan Musik (1986), Permata Hitam/Sesuap
Nasi (1987), Aku tetap Aku (1987), Air Api (1987) dan Tragedi Buah Apel (1987)
dan Goyah (1987).
Sebagai aktor Gito memulai debutnya
di dunia film lewat Buah Bibir (1973) sebagai figuran. Setelah benar-benar
menjadi aktor ia bermain dalam Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di Ujung Malam
(1979) dan Sepasang Merpati (1979), dan Permainan Bulan Desember (1980), dan
Kereta Api Terkahir (…). Namun kekuatan aktingnya terlihat pada Janji Joni yang
mengantarkannya meraih piala Citra untuk kategori Aktor Pembantu Pria Terbaik pada Festival Film
Indonesia tahun 2005.
Tahun 1995, atau tepat setelah 10
November, Sang Rocker baru benar-benar berhenti mengkonsumsi drugs dan alkohol,
setelah mengalami sebuah peristiwa yang memembuatnya shock lahir batin.
Sepulang dari konser Hari Pahlawan di Surabaya, di bawah pengaruh narkoba,
selama tiga hari ia mengalami fly, tak bisa makan dan tak bisa tidur, dan
selama tiga hari itu semua kelakuannya di masa lalu seperti diputar di depan
mata. “Saya takut sekali,” ujarnya seperti diungkap kepada koran
Tempo. Namun yang paling memembuatnya
ciut justru menyangkut segala omongan yang pernah terlontar dari mulutnya.
Fitnah dan gunjingan terhadap musisi lain, termasuk melakukan
ghibah (membicarakan
kejelekan orang lain).
Pengalaman tiga hari itulah yang
menjadi titik balik dirinya untuk kembali kepada Allah. Khabar tentang
kekuasaanNya, telah diwartakan ke segenap penjuru bumi kepada seluruh manusia,
hanya saja tidak banyak orang yang menyadarinya, “Dan di bumi itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada
dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51
: 20-21).
Jika seseorang memperhatikan
tanda-tanda itu, dan Allah SWT telah membukakan jalan masuk untuk memahami,
tentu tidaklah sulit. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Hai manusia,
sesungguhnya (bencana) kelalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil
kelalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah
kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
Yunus, 10 : 23).
Bisa jadi peristiwa yang ia alami,
karena Allah hendak mengabarkan hal itu kepadanya sebagai kesempatan untuk
memperbaiki diri. Di usia kepala empatnya, seorang Gito Rollies diingatkan
Allah SWT melalui sebuah peristiwa spiritual yang memembuatnya bergidik ketakukan.
Nyalinya ciut, gemetar badannya, kekuatan musik cadas tak mampu menyangga
hatinya yang terkoyak kala tanda-tandaNya telah diterima saat dirinya fly.
Kesadaran bathinnya bergolak untuk bangkit dari masa-masa kelam yang telah
mengotori jiwanya.
Sang Rocker kini dalam kesadaran
awal setelah puluhan tahun terlelap bersama kesuksesan, polularitas, dan kenikmatan duniawi. “Saya
harus hijrah, bukan ini tujuan saya dilahirkan ke muka bumi, tetapi ada tugas
lain yang harus saya lakukan sebagai bekal pertemuan dengan Sang Pemilik jiwa
ini,” ujar hati itu berkata lirih. Hatinya telah terbuahi cintaNya yang
tulus dan suci sehingga sang hati sejati berkata, “Dan aku tidak membebaskan
diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf, 12 : 53).
Sebelum merasakan ke-Mahaan Allah
dalam dirinya, Bangun Sugito hidup dalam serba kecukupan. Bergelimang
kemewahan, bergiat dalam kehidupan malam, bertemankan jarum neraka. Begitulah
hari demi hari yang dilalui seolah pakaian yang tak pernah
lepas dari badannya. Bahagiakah
hidup seperti itu? Mendatangkan ketenangankah semua itu? Sebuah pertanyaan yang
belum terjawab, sebuah rasa yang belum pernah ada dan sebuah keinginan yang
belum tercapai. Pada akhirnya semuanya hanya menghantarkannya ke alam risau,
resah dan gelisah.
Klimaks terjadi kala ia merayakan
ulangtahunnya yang ke-50 pada 1997. Di situ, Gito mengundang seluruh karibnya
untuk berpesta alkohol dan obat sepuasnya. Dalam kerisauan panjang, beriring desah dan keluh kesah, daerah Puncak Bogor
–Puncak dikenal sebagai tempat rekreasi di daerah Jawa Barat– selalu menjadi
tempat menumpahkan penat, mengubur kegundahan yang membuncah. Wal hasil bukan
ketenangan yang didapat bahkan gelisah itu makin menjadi. Namun dari daerah inilah
benih hidayah itu mulai mekar membesar. Puncak menjadi tempat bersejarah,
tempat solusi menjawab segala kerisauan.
Saat itu hari Jumat siang. Pria
dengan rambut awut-awutan ini masih memegang botol miras, duduk di tempat yang
tinggi sambil sesekali memandang ke arah bawah. Pandangannya tertuju kepada
beberapa warga desa yang banyak menuju mesjid, hatinyapun bergetar, kerisauanpun
kembali mengusik hati. Mereka
dengan kesahajaan bisa menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid ada
kebahagiaan?!” Pertanyaan itu selalu mengusik Gito. Sungguh pemandangan indah di hari
Jumat itu, memberi arti tersendiri bagi kehidupan Gito Rollies. Sulit dibedakan
keterusikan karena sekedar ingin tahu atau ini adalah awal Allah membukakan
hatinya bagi pintu tobat. Dicobanya untuk mendekati Masjid itu, subhanallah, seperti ada magnit yang
memendekkan langkahnya untuk tiba. Mungkin di sana ada kebahagiaan. Terlihatlah
sebuah pemandangan yang meluluhlantakan kegelisahannya selama ini.
“Rasanya seluruh otakku tiba-tiba
dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan
melihat orang-orang ruku, sujud dalam kekhusuan,” “Bukankah apa yang kulakukan selama ini untuk mendapatkan ketenangan, tapi
kenapa tidak? Ya, aku telah bergelut dengan kesalahan dan tetek bengeknya yang
semuanya adalah dosa. Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku? Lantas membuat apa aku hidup jika
jelas-jelas bergelimang dalam ketidakbahagiaan.” Pikiran itu terus bergelayut
seakan haus jawaban. “Malam
itu aku benar-benar tidak dapat memejamkan mata. Aku gelisah sekali. Ya, ternyata
aku yang selama ini urakan,
permisive ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku
mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat
kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan untuk memulai hidup baru.
“Selama hidupku, baru kali ini aku
diliputi suatu perasaan yang belum pernah aku rasakan semenjak mulai memasuki
dunia selebritis. Maka, aku pun segera berwudlu dan melakukan shalat. Ketika
itu, untuk pertama kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian. Dan
sejak hari itu, aku memutuskan untuk tekun memperdalam agama sekalipun masih
banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku atau pun
beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan haji seraya berdiri
dan menangis di hadapan ka’bah memohon kepada Allah kiranya mengampuni
dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari hitamku.”
Ketika mentari terbit, Gito langsung
mengajak istrinya untuk pergi ke Bandung, menjenguk sang ibunda. Di sana,
ia mengutarakan niatnya
untuk tobat yang disambut tangis haru sang ibu. Sejak saat itu, Gito resmi
meninggalkan dunia kelam. Satu
yang disyukuri Gito adalah, dukungan dan kesabaran sang istri, Michelle,
yang tak pantang habis. “Saat
aku sudah belajar agama, aku tidak berupaya menyuruhnya shalat. Ia tiba-tiba
belajar shalat sendiri, begitu juga anak-anak. Suatu hari, ketika aku pulang,
tiba-tiba aku mendapatinya tengah mematut diri di depan kaca sambil mengenakan
jilbab. Padahal aku tidak pernah menyuruhnya. Subhanallah, istriku memang yang
terbaik yang pernah diberikan Allah,” kata ayah dari empat putra ini.
Tobatnya Gito juga disyukuri oleh
sang mertua, warga negara Belanda yang berimigrasi ke Kanada. Meski berbeda
keyakinan, ibu mertuanya justru senang dengan perubahan
yang dialami Gito. “Kata
beliau, aku jadi lebih kalem ketimbang dulu, meski sekarang pakai jenggot
segala. Bahkan aku jadi menantu favoritnya lho,” tuturnya
sambil terkekeh. “Mengapa
Allah memberikan hidayah kepada diriku yang kerdil ini? Mengapa Allah
menciptakan makhluk yang penuh dosa ini?”
Gito mengaku harus merenung lama
untuk menemukan jawaban itu. Setelah dia menjalankan shalat dan menunaikan
haji, jawaban itu baru mampir di benak dan pikirannya. “Ternyata, Allah
menciptakanku untuk menjadi manusia baik. Semula mengikuti idolaku, Mick
Jagger. Aku menjadi penyanyi dan rekaman lalu mendapat honor. Tapi itu bukan
kebahagiaan sepenuhnya membuatku.” “Mick Jagger itu dulu menjadi
idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan seabrek dunia kelam lain. Tapi sekarang
aku mengidolakan Nabi. Dan sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara.” Kalimat itu meluncur dengan lugas dari Gito Rollies, artis ndugal yang kini
memilih ke pintu pertobatan. Penampilan Gito tak lagi urekan dengan rambut
awut-awutan dan celana jin belel. Bukan pula pelantun lagu-lagu cadas yang
berjingkrak-jingkrak tidak keruan. “Aku
sudah mendapatkan banyak hal di dunia ini. Sekarang saatnya mengumpulkan amal
untuk persiapan menghadapi hari akhir ,” katanya ketika memberi testimoni tentang
perubahan dalam hidupnya.
Setelah mengalami pengalaman rohani,
dirinya mulai banyak bergaul dengan kalangan ulama, mengaji, serta mempelajari
Al-Qur’an dan Hadits secara mendalam. Perlahan-lahan Allah SWT tanamkan
pemahaman arti hidup sebenarnya. Sang Gito Rollies merasa telah menemukan
hujjah yang mendasari hidupnya. “Dulu saya suka Mick Jagger, saya bahagia kalau
populer. Ibaratnya, dulu tuhan saya adalah popularitas. Nabi saya adalah para idola saya,
dan rocker-rocker luar negeri, sekarang saya begitu mencintai Nabi Muhammad SAW
dan ajaran-Nya,” ujarnya.
ALLAH MAHA BESAR, demikian kira-kira
satu ungkapan yang cocok dialamatkan kepada legenda musik rock Indonesia
tersebut. Ketika Gito memutuskan berputar haluan 180 derajat dari dunia rocker
yang hingar bingar menuju kehidupan Islami yang sarat dengan dakwah, banyak
sahabat yang kaget, seolah tak percaya. Apalagi bagi sahabat yang sangat
mengenal Gito, rasa-rasanya “mustahil” ia berubah seperti itu. Dengan kata
lain, apa yang dilakukan Gito ketika itu adalah “aneh bin ajaib”. Apalagi jika
membandingkan gaya hidup dan penampilan Gito dulu yang “compang-camping” ala
rocker, berubah menjadi seorang yang sangat Islami. Bahkan pakaian
sehari-harinya pun bukan celana jins robek lagi, melainkan pakaian gamis lengkap
dengan peci, layaknya umat Islam.
Tidak ada yang tidak mungkin selain
mengecat langit! Demikian kira-kira perumpamaan yang sedikit nyeleneh untuk
mengungkapkan fenomena hijrahnya Gito Rollies ke dunia dakwah. Sejak 1997 ia
mulai menapaki “karir” dalam dunia karkun Jamaah Tabligh (pekerja dakwah yang
rela mengorbankan harta dan kehidupan dunia semata-mata untuk berdakwah di
jalan Allah). Selama rentang waktu 1997-Februari 2008 ini, Gito telah malang
melintang keliling Indonesia untuk menyebarkan dakwah kepada umat Islam.
Berpindah dari mesjid satu ke mesjid lainnya.
”Awalnya, saya hanya melihat
orang-orang yang pergi ke masjid dan belum menunaikan shalat, meskipun saya
beragama Islam. Selanjutnya saya beranikan diri masuk ke rumah Allah itu. Wah,
kali pertama rasanya malu sekali dan menakutkan tempat itu. Lama-lama Allah
berkenan memberikan hidayah kepada saya,” ungkap Gito semasa hidup. Hal itu ia
ungkapkan seraya mengenang awal mula kembali ke jalan Allah. (dikutip dari suaramerdeka.com.
Berita Edisi 17 April 2004. Diakses Sabtu, 01 Maret 2008).
Khuruj fi Sabilillah (pergi ke luar
rumah/kampung halaman) semata-mata untuk senantiasa memperbaiki iman dan
ketakwaan bagi dirinya sendiri dan seluruh umat, diputuskan Gito sebagai jalan
hidup. Seorang artis ibukota dalam salah satu siaran televisi Nasional
mengungkapkan suatu pernyatan Gito yang mengharukan sekaligus membahagiakan,
“Gito dulu pernah berkata kepada saya, bahwa ia ingin mati di panggung sebagai
seorang rocker. Tapi suatu saat ia justru berubah pikiran. Gito bilang ia ingin
mati di panggung, tapi bukan sebagai rocker melainkan saat berdakwah,”
ungkapnya dengan nada haru dan berlinang air mata, seraya menjelaskan bahwa
keinginan Gito tersebut dikabulkan Allah lewat jalan lain, yaitu Gito meninggal
sesampainya di Jakarta setelah beberapa hari melaksanakan dakwah khuruj fi
sabilillah di Padang, Sumatera Barat.
Demikian pula Da’i kondang Arifin
Ilham, kepada wartawan, sembari tak kuasa menahan air mata, ia mengungkapkan
bahwa Gito Rollies adalah teladan bagi umat. Ia juga mengungkapkan semasa hidup
Gito telah berjuang di jalan Allah dengan membawa misi dakwah, meskipun
penyakit yang diderita Gito cukup berat. Luar biasa memang sosok Gito,
penyakit nan ganas, kanker kelenjar getah bening yang telah ia derita sejak
beberapa tahun lalu (ia bahkan pernah dirawat di Singapura), tidak menyurutkan
semangat dakwahnya. Bahkan, dengan berkursi roda, ia tetap semangat mengumbar
dakwah dari mesjid ke mesjid.
Toh, meski sudah berada di jalan
Allah, Gito tak pernah merasa dirinya yang paling benar. Ia selalu menolak jika
disebut kyai, atau diminta untuk berceramah. Menurutnya, ia hanyalah orang yang
masih terus belajar agama. Apapun yang diucapkannya di depan umum adalah upayanya
berbagi cerita. Bahkan,
Gito masih merasa belum cukup bertobat hingga akhir hayatnya. Tak pernah
sekalipun ia merasa dosa-dosanya telah terhapuskan. Dalam suatu pengajian ia
sempat bertanya kepada ustadz yang berceramah, apakah dosa-dosanya di masa lalu
bisa berkurang dengan permembuatannya saat ini.
Ia pun berdakwah di kalangan artis,
baik penyanyi maupun bintang film. Allah seolah telah mengirim seorang utusan
dari kalangan mereka sendiri, komunitas yang sangat rentan terhadap segala
bentuk kemaksiatan, seperti minuman keras, narkoba, bahkan seks bebas.
Profesinya sebagai artis didayagunakan untuk syi’ar agama Allah, mengajak
mereka dengan cinta kasih, tidak pernah memaksa, bahkan tidak merasa dirinya
paling baik dan paling benar. Baginya, teladan lebih utama dari sekedar
retorika religi belaka.
Pentas musik dengan beberapa kelompok band
muda terus dijalani. Bedanya, pentas kali ini tanpa alkohol dan drugs
serta menyelipkan syi’ar Islam di setiap penampilannya. Juga di balik layar
lebar, film-film bertema religius sanggup dilakoni dengan satu semangat, yaitu
menggemakan ajaranNya yang dibawa oleh Baginda Rasulullah. “Lalu Kami utus
kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata) :
Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain dariNya.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya).” (QS. Al-Mu’minuun, 23 : 32).
Beberapa tahun belakangan, orang
mulai memanggilnya Ustadz Gito, meski ia menolak panggilan itu. Banyak kalangan
artis yang tersadarkan setelah menyimak penuturan pengalaman hidupnya. Teladan
dan ucapannya yang lemah lembut memmembuat semakin banyak orang yang simpatik
dengan isi dakwah, syi’ar yang diangkat dari pengalaman pribadinya. Ia pun
sempat mendaur ulang album lawasnya, Cinta yang Tulus, bukan lagi tema cinta
antara sepasang manusia tetapi antara makhluk dan Khalik.
Kini Kang Gito telah berubah, masa
lalu memang tidak mungkin terhapus dari diary-nya, dan akan menjadi catatan
sejarah panjang. Tetapi itulah kehidupan, segalanya belum titik, tapi masih
koma. Dan baru mencapai titik bila ajal menjemput. Jalan hidupnya mengingatkan
kita pada sosok Cat Stevens yang pernah tersandung sebuah
kejadian luar biasa, lantas
banting setir ke arah tidak terduga setelah selamat dari gulungan ombak besar
di pantai Hawaii. Cat Stevens meninggalkan agama lamanya dan dunia yang
memungkinkan segalanya kecuali spiritualitas. Ia pun berganti agama dan namanya
dengan jati diri yang baru, yaitu Yusuf Islam. Gito Rollies tidak perlu ganti
nama, namun dirinya bermetamorforsis menjadi hambaNya yang memahami tujuan
hidupnya serta berusaha menjadi bermanfaat bagi orang lain walaupun harus
berceramah di abeg kursi roda dan melawan penyakit kanker getah benih yang
menderanya sejak 2005.
Perjalanannya terhenti pada pukul
18.45 WIB, Kamis (28/02), setelah Sang Rocker menghembuskan nafasnya yang
terakhir. “Beliau meninggal setelah melakukan shalat Maghrib dan melakukan do’a
terakhir,” ujar rekan artis yang turut melayatnya. Dua belas tahun lebih di
sisa usianya dihabiskan untuk melayani dan mengajak orang lain melakukan
kebaikan. Sakitnya tidak begitu dirasakan, bahkan pada akhirnya beliau nikmati
sebagai peluntur sisa-sisa kekotoran dirinya dan menjadi musabab kematiannya.
Ia tersenyum saat Sang Malaikat maut
mengepakkan sayapnya dan hadir di hadapannya untuk mencabut nyawa sang Rocker.
Ikhlas menerima takdirNya, melepaskan segala bentuk atribut keduniawian.
Kekelaman hidup terbayar tunai dengan amal permembuatan, dan senyum itu semakin
menyeringai di wajahnya kala sang Malaikat perlahan-lahan mengambil ruh
milikNya. Sehingga beliau masih mempunyai waktu untuk melafalkan lafadz tauhid.
Dan sang Rocker pun meninggalkan dunia fana ini dengan rasa puas dan merasa
tenang. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah ke
dalam surgaKu.” (QS. Al-Fajr, 89 : 27-30).
Insya Allah, beliau meninggal dalam
keadaan khusnul khatimah. Mudah-mudahan peristiwa ini memotivasi kita semua
untuk bisa bermembuat sebaik-baiknya, dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
kita di sisa umur yang tidak lama lagi. Tiada pernah terucap kata putus asa,
karena Dia pasti akan mengampuni segala kesalahan dan dosa-dosa hamba-hambaNya,
karena Kasih SayangNya bak Samudera Tak Bertepi. Semoga kita termasuk
orang-orang yang berakhir hidup dengan jiwa yang muthmainnah, sebagaimana
mereka yang terpilih.
Gito menigggalkan seorang isteri
bernama Michelle dan anak-anak,
yakni Galih Permadi, Bintang Ramadhan, Bayu Wirokarma, dan Puja Antar Bangsa.
Sebaik-baik usia tiap orang adalah pada penghujungnya. Dan ketahuilah, bagi kita, ujung-ujung usia akan selamanya menjadi misteri, karena seringkali di sanalah Allah memberikan kesudahan yang indah dari perjalanan taubat hamba-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar