Dari
judul albumnya saja sudah mengundang imajinasi, Kesepakatan Dalam Kepekatan.
Album eksperimental ini memang sarat dengan simbol. Pertama, musiknya
mempertemukan etnik Bali yang berpola pada nada pentatonis dengan kultur Eropa
yang berpola pada nada diatonis. Persilangan ini memberi rangsangan kepada
Guruh Gipsy untuk mengekploitasi bebunyian hingga ke titik maksimal. Salah satu
lagunya, “Chopin Larung”, memperlihatkan hasil pergulatan tersebut. Secara
sederhana, temanya menceritakan kemurkaan Dewa Laut. Chopin digambarkan
kebingungan karena tidak memahami jika bangsanya merusak seni budaya. Ungkapan
ini seperti merefleksikan kerisauan Guruh atas tercemarnya seni budaya Bali
oleh serbuan budaya asing yang dalam hal ini disimbolkan melalui sosok Chopin.
Untuk mendekati orisinalitas, liriknya pun sengaja menggunakan bahasa Bali.
Sangat
tidak mudah memadukan dua karakter melodi ke dalam sebuah komposisi tanpa
saling mengalahkan. Dalam proses penggarapan, lagu ini terpaksa harus direkam
ulang karena persoalan teknis. Begitu juga dengan “Barong Gundah”. Untuk
diketahui, Studio Tri Angkasa saat itu masih menggunakan sistem rekam 16 track.
Merealisasikan gagasan melalui piranti yang serba terbatas tentu rentan
kendala. Tidak heran jika pengerjaan pun berlangsung lebih satu tahun. Tepatnya
mulai Juli 1975 sampai November 1976. Sebuah proyek ambisius yang sangat
menguras energi.
Album Kesepakatan Dalam Kepekatan merupakan hasil
kolaborasi Guruh Sukarno Putera dan grup Gipsy dengan formasi Chrisye (vokal,
bass), Odink Nasution (gitar), Abadi Soesman (keyboard), Roni Harahap (piano)
serta Keenan Nasution (drum). Cikal bakalnya sudah lahir pada 1966 dengan nama
Sabda Nada dan telah mengalami pergantian personel berulang kali. Pada tahun
1973 mereka pernah mengisi acara di restoran Ramayana milik Pertamina di New
York. Sejak tahun 1970-an Gipsy sudah bersentuhan dengan musik Bali.
Simbol
lain yang lebih tegas diperlihatkan oleh penampakan kaligrafi Dasa Bayu pada
sampulnya. Kongkritnya berupa rangkaian 10 aksara Bali yang memiliki arti dan
makna tertentu. Yaitu I-A berarti kejadian dan keadaan, A-Ka-Sa berarti
kesendirian dan kekosongan, Ma-Ra berarti baru, La-Wa berarti kebenaran dan
Ya-Ung berarti sejati. Sejak zaman dahulu, simbol tersebut dimaknai sebagai
suatu keadaan hampa atau kosong yang kelak akan berubah menjadi kebenaran yang
hakiki. Nampaknya dari sinilah inspirasi untuk judul album diperoleh.
Menduga-duga kan boleh saja.
Bersandar
pada simbol tersebut, Guruh Gipsy secara sadar telah memasuki wilayah serius.
Selain penggunaan bahasa Bali untuk penulisan lirik, album ini hampir
sepenuhnya menggunakan bahasa sansekerta untuk penjudulan. Salah satunya
“Smaradhana” (Asmara Membara) yang pernah dibawakan kembali oleh Chrisye pada
album Sabda Alam (Musica, 1980).
Kolaborasi
Guruh Gipsy memang tak berkelanjutan. Namun dengan hanya satu album ini,
kelompok anak muda tersebut telah melahirkan sebuah mahakarya yang pencapaian
nilai artistiknya tidak lekang oleh zaman. Guruh Gipsy diakui sebagai salah
satu inspirator bagi bermunculannya band rock progresif di tanah air.
Belakangan,
Bubi Chen melanjutkan langkah membuat persilangan seperti ini dengan menggaet
Uking Sukri, maestro kesenian Sunda, untuk berduet dalam Kedamaian
(Hidayat, 1989). Bagaimana pertautan harmoni antara piano dengan suling di
album ini digambarkan almarhum Harry Roesli sebagai “sebuah dialog yang ramah”.
Harry Roesli pun terbilang musisi yang rajin mengawinkan seni tradisional Sunda
dengan musik kontemporer.
Masih
tentang ranah Parahyangan, kelompok Karimata terbukti pernah mengundang Bob
James untuk lagu “Paddi Field” dari album Jezz (Aquarius, 1991). Etnik Sunda
kembali naik pamor setelah Krakatau memadukannya dengan irama jazz rock dan
melakukan tur keliling Eropa.
Jauh
sebelumnya, langkah semacam ini sesungguhnya sudah dilakukan pemusik asal
Kanada Collin McPhee dengan mengeksploitasi perangkat gamelan berjudul
Tabuh-tabuhan (1934). Ada pula Ray Manzarek, keyboardis The Doors, lantas
mengikutinya melalui album The Golden Scarab (1973).
Dalam
konteks persilangan musik etnik Bali, Guruh Gipsy sebenarnya bukanlah musisi
pertama. Pada tahun 1975 pemusik eksperimetalis Jerman Eberhard Schoener telah
merilis Bali Agung. Jon Anderson, vokalis Yes, juga pernah memasukkan bebunyian
etnik Bali ini pada koda “Unlearning” dari album Animation (1982). Namun
tetapi langkah Guruh Gipsy, yang tentu saja memiliki kedalaman lebih baik
dibanding Eberhard Schoener mau pun Jon Anderson, tetap memberi arti penting
bagi perkembangan sejarah musik Indonesia. Tidak lama setelah dirilis, Kesepakatan
Dalam Kepekatan menjadi topik diskusi para penggemar musik progresif di
Jepang, Eropa dan Amerika.
tribute to Indonesian Legends https://www.youtube.com/watch?v=1qb_9XfmQI0
BalasHapus