Musik
adalah dunia Keenan Nasution. Dia tetap tak terpisahkan dengan dunia yang
digemarinya sejak kecil. Ayahnya almarhum Saidi Hasjim Nasution adalah
penggemar musik klasik bahkan beliau mampu menggesek dawai biola. Rada Krishnan
Nasution, demikian nama berbau India yang diberikan sang ayah pada Keenan yang
lahir pada tanggal 5 Juni 1952. 5 dari 6 bersaudara keluarga Nasution yang
seluruhnya lelaki kemudian mulai bermain band. Dimulai dari putera kedua Zulham
Nasution yang kerap dipanggil Joe Am mulai membentuk band bersama Pontjo
Soetowo, Edit, Eddy Odek, Ronald dan Chrisye tetangga mereka di Pegangsaan
termasuk putera ketiga Gauri Nasution di tahun 1966 dengan nama Sabda Nada. Di
era ini lagu-lagu bertema instrumental gitar tengah mewabah seperti yang
digaungkan kelompok The Shadows maupun The Ventures.
Menjelang
akhir era 60-an Sabda Nada bermetamorfosa menjadi Gipsy Band dengan perubahan
formasi dengan masuknya Keenan Nasution (drum, vokal), Onan Soesilo (organ), Tammy
Daudsyah (flute, saxophone, vokal), almarhum Christian Rahadi (bas, vokal), Gauri
Nasution (gitar) dan almarhum Atut Harahap (vokal). Gipsy memang mencoba tampil
beda dengan band-band lain yang tengah menjamur di Jakarta.Saat itu. Gipsy
memilih genre psychedelic dan blues rock dalam repertoarnya. Mereka membawakan
repertoar milik Chicago seperti “Low Down”, Keef Hartley dengan “Too Much
Thinking” atau “Not Wise Not Foolish” bahkan King Crimson dengan “I Talk To The
Wind” yang saat itu memang jarang dimainkan anak band. Citra Gipsy memang
menjadi eksklusif, apalagi ketika mereka mulai membawakan “I Will Bring The
Flower In The Morning” dari grup Blond hingga “I Love You More Than You’ll Ever
Know” serta repertoar Jimi Hendrix.” Saat itu kita pun mulai membawakan lagunya
The Allman Brothers Band seperti “Whipping Post” atau “It’s Not My Cross To
Bear” ungkap Keenan Nasution yang kini memiliki 7 putera puteri hasil
pernikahan dengan penyanyi dan bintang film Ida Royani di tahun 1979.
Rumah
dibilangan Pegangsaan memang menjadi komunitas tempat anak muda nongkrong. Bermain
band, ngobrol musik sembari menyimak album-album rock yang baru beredar dalam
bentuk piringan hitam. Keluarga Saidi Hasjim tak seperti orang tua jaman dulu
yang menabukan putera-puteranya bermain musik.
Pola
permainan Gipsy yang agak berbeda ini ternyata menyita perhatian pemusik Mus
Mualim yang kebetulan bermukim di Jalan Sukabumi, tak jauh dari Jalan
Pegangsaan. Mus yang beristerikan Titik Puspa itu malah menggagas ingin
berkolaborasi dengan anak-anak Gipsy di pentas Taman Ismail Marzuki (TIM).
Saat
itu pula di kediaman keluarga Nasution juga bermukim I Wayan Suparta Widjaja
seniman Bali yang pernah menikah dengan bintang film Chitra Dewi. Dari Wayan
Suparta inilah Keenan menyerap musik tradisional Bali. Keenan mulai tertarik
mempelajari perangai gamelan Bali yang agresif.
Di
tahun 1972 setelah berpulangnya vokalis Gispy Atut Harahap, mulailah babak baru
dalam proses kesenimanan Keenan Nasution dengan diajaknya Gipsy oleh Dirut
Pertamina alm Ibnu Soetowo untuk menjadi homeband di Ramayan Restaurant yang
berada di kawasan Manhattan New York City, Amerika Serikat.
Dengan
formasi yang berubah, bertolaklah Gipsy ke Amerika dengan dukungan Keenan
Nasution (drum), Christian Rahadi (bas), Rully Djohan (organ), Lulu Soemaryo
(saxophone), Gauri Nasution (gitar) dan almarhum Adjie Bandie (biola) mantan
personil kelompok Cockpit dan C’Blues. Di Restauran yang dikelola Pertamina
itulah Keenan dan kawan –kawan mengasah kemampuan bermusik. Saat itu Gipsy
menjadi pengiring penyanyi kawakan Indonesia Bob Tutupoly.
Di
kala senggang Keenan berburu piringan hitam dan nonton konser. ”Saya mulai
mengenal album Genesis di Amerika dan nonton konser Blood Sweat & Tears
serta grup art rock Inggris Yes” jelas Keenan Nasution. Dari menyimak dan
menonton konser musik, semakin membenamlah referensi musik pada benak Keenan
Nasution.
Kelak
referensi musik yang dicernanya di Amerika yang menjadi inspirasi utamanya
dalam bermusik. Sepulang dari Amerika pada tahun 1973, Keenan yang mencoba
membentuk Gipsy malah ikut mendukung Young Gipsy grup yang dibentuk kedua adik
kandungnya Aumar Nauddin Nasution (gitar) dan Debi Murti Nasution (bas dan
keyboard) bersama almarhum Narry.
Setahun
kemudian tepatnya tahun 1973 kedua adik Keenan malah dipinang Achmad Albar dan
Donny Gagolla untuk mendukung formasi God Bless yang lowong karena ditinggal
Ludwig LeMans dan Deddy Dorres. Tak lama berselang,Keenan malah menyusul kedua
adiknya masuk God Bless setelah dua personil God Bless Fuad Hassan (drum) dan
Soman Lubis (keyboard) meninggal karena kecelakaan motor di kawasan Pancoran
Jakarta. ”Padahal sebelumnya malah Fuad meminta saya untuk masuk God Bless, karena
dia ingin menjadi manajer band saja” tutur Keenan.
Bergabungnya
Nasution Bersaudara dalam God Bless memang sedikit agak mempengaruhi repertoar
God Bless diantaranya ketika Achmad Albar mulai membawakan lagu-lagu milik Yes,
ELP bahkan Focus.
Sayangnya,
mereka bertiga – Keenan, Oding dan Debby, hanya bertahan selama setahun saja
bersama God Bless. Padahal di tahun itu God Bless tengah merajai panggung
pertunjukan rock negeri ini.
Keenan
sendiri memang ingin mewujudkan obsesi lama : membuat album dengan karya
orisinal. Inilah cikal bakal mencuatnya kolaborasi Gipsy dengan Guruh Soekarno
Putera. Tersedianya fasilitas studio rekaman 16 track “Tri Angkasa” di kawasan
Kebayoran dengan penata rekam handal Alex Kumara semakin mendekatkan impian
Keenan pada titik kenyataan. Apalagi pertemuannya kembali dengan sahabat
lamanya Guruh Soekarno Putera yang baru saja kembali dari Amsterdam, Belanda
mematangkan konsep musik berupa pembauran musik tradisional Bali dan Rock. Ini
terjadi tahun 1975. Berbaurlah Guruh Soekarno Putera, Keenan Nasution, Oding
Nasution, Roni Harahap, Christian Rahadi dan Abadi Soesman yang kemudian
menghasilkan album fenomenal “Guruh Gipsy” yang dirilis pada akhir tahun 1976
dengan menghabiskan waktu pengerjaan lebih dari setahun.
Setelah
proyek Guruh Gipsy selesai, Keenan masih menyimpan sebuah obsesi lagi : bersolo
karir. Ini memang sangat memungkinkan. Karena sebetulnya Keenan Nasution adalah
sosok seniman musik komplit. Dia menguasai permainan drum, gitar dan piano. Dia
pun terampil menggurat komposisi lagu dan disamping menyanyi. ”Suara Keenan
khas. Dia lebih tegas dibanding Chrisye” komentar Eros Djarot suatu ketika. ”Saya
menyukai timbre vocal Keenan” timpal Donny Fattah, pencabik bass God Bless.
Karena kesengsem dengan vokal Keenan, Donny pun mengajak Keenan Nasution untuk
bernyanyi di album “D&R”, kolaborasi adik kakak antara Donny dan Rudy
Gagola pada tahun 1976. Di album yang juga menampilkan penyanyi Achmad Albar, Djatu
Parmawati dan Ida Noor ini, Keenan menyanyikan lagu bertajuk “Cindy”, sebuah
lagu yang ditulis Donny Fattah bersama Theodore KS yang mengisahkan tentang
bayi pertama Donny dan Rini Noor bernama Cindy.
Bersama
penulis lirik Rudi Pekerti, Keenan Nasution tertarik untuk ikut dalam Festival
Lagu Pop Indonesia pada tahun 1977. Salah satu lagu karya Keenan bersama Rudi
Pekerti ternyata masuk final yaitu lagu yang bertajuk “Di Batas Angan-Angan”. Sayangnya,
lagu yang diimbuh narasi berbahasa Jepang itu tidak berhasil menjadi juara. Adapun
yang menjuarai adalah “Damai Tapi Gersang” yang ditulis oleh mantan Gipsy yaitu
almarhum Adjie Bandi.
Angan
angan untuk mewujudkan sebuah album solo masih bergaung. Keenan lalu mengajak
sahabat-sahabatnya mulai dari Guruh Soekarno Putera, Junaedi Salat, Yanto, Narry,
Abadi Soesman, Harry Minggoes, Rudi Pekerti, Trio Bebek serta dua saudaranya
Gauri Nasution dan Debby Nasution untuk bahu membahu merampungkan proyek album
solo perdananya bertajuk “Di Batas Angan-Angan” yang dirilis Gelora Seni dan
Duba Record. Di album ini Keenan pun menyertakan dua anak SMA III sebagai
pendukung musiknya : Addie MS dan Fariz RM.
Album
ini berhasil melejitkan dua hits yaitu “Nuansa Bening” dan “Zamrud
Kahtulistiwa” yang ditulis Guruh Soekarno Putera.
Pada
saat yang bersamaan Chrisye pun meluncurkan album solo perdanya “Sabda Alam”
pada label Musica Studios yang juga didukung oleh Keenan Nasution (drums), Yockie
Soerjo Prajogo (keyboards), Roni Harahap (piano) serta composer Junaedi Salat
dan Guruh Soekarno Putera.
Di
era ini, focus memang tertuju pada kiprah pemusik yang bermukim di wilayah
Pegangsaan terutama ketika di tahun 1977 Eros Djarot bersama dukungan Chrisye, Berlian
Hutauruk, Yockie Soerjo Prajogo, Debby Nasution, Fariz RM dan Keenan Nasution
berhasil menggebrak industri musik pop Indonesia dengan kehadiran album
fenomenal “Badai Pasti Berlalu”.
Sukses
dalam kualitas dan kuantitas, membuat sebuah gagasan baru yaitu para pemusik
yang terlibat dalam album Badai Pasti Berlalu akan tampil di pentas pentas
pertunjukan. Momentum itu bermula ketika mereka diminta tampil pada acara yang
digagas Sys NS dkk “Dapur Musik Betawi”. Sys NS dengan seenaknya lalu memberi
nama “Badai Band” kepada band yang bermarkas di Pegangsaan tersebut.
Badai
Band bahkan tampil dengan iringan orkestra yang dipimpin Idris Sardi dalam
konser “Musik Saya Adalah Saya” yang diprakarsai Yockie Soerjo Prajogo di Balai
Sidang Senayan Jakarta 1979.
Keenan
tampaknya konsisten dalam bersolo karir. Di tahun 1979 Keenan merilis “Tak
Semudah Kata Kata” yang didukung oleh Roni Harahap (piano), Chrisye (bas), Oding
Nasution (gitar), Jerry Sudiyanto (gitar) serta Rudi Pekerti (penulis lirik)
dan Ida Royani (vocal) yang kelak menjadi isterinya.
Pernikahannya
dengan Ida Royani di tahun 1979 tak mengungkung visi bermusik Keenan Nasution. Roy
Marten bahkan mengajak Keenan untuk mengisi music score film bertema anak muda
“Roda Roda Gila” (1979) yang dibintangi Roy Marten, Yati Octavia dan Rudi
Salam. Album demi album pun digarap Keenan seperti “Akhir Kelana” (1980), ”Beri
Kesempatan” (1981), ”42nd Street” (1982), ”Dara Dara” (1984), ”Dulu Lain
Sekarang Lain” (1985), ”Kupu Kupu Cinta” (1986) dan “Bunga Asmara” (1990).
Bersama
sang isteri Ida Royani, Keenan sempat merilis dua album duet “My Love” dan
“Romansa”. Keenan pun ikut bergabung dalam “Gank Pegangsaan” (1989) kelompok
yang diprakarsai Debby Nasution untuk mengajak kembali sederet pemusik
Pegangsaan yang saat itu tengah berpencar dengan tujuan masing-masing. Gank
Pegangsaan yang didukung Debby Nasution, Keenan Nasution, Harry Sabar, Harry
Minggoes, Eet Syahrani, Andy Ayunir, Molly Gagola, Sitoresmi dan banyak lagi
ini berhasil melejitkan hits “Dirimu” karya Harry Minggoes yang dinyanyikan
Keenan Nasution.
Memasuki
era 90-an Keenan Nasution mulai menghilang dari industri musik pop. Meskipun ia
tidak sama sekali meninggalkan musik. Keenan bahkan sempat membentuk Next Band,
sebuah band panggung yang didukung Freddie Tamaela, Raidy Noor, Armand Maulana,
Oding Nasution, Rani Trisuci Kamal hingga Andy Ayunir.
Bahkan
sejak tahun 1997 Gipsy muncul lagi dengan formasi Keenan Nasution, Oding
Nasution, Gauri Nasution, Onan Soesilo dan Tammy Daudsyah. Pemunculan Gipsy
lebih banyak pada pola reuni baik di panggung pertunjukan maupun di TVRI. Tapi
sesungguhnya reuni Gipsy yang paling mengharukan justeru terjadi pada Agustus
2006 ketika Chrisye yang duduk di kursi roda ikut manggung dengan menyanyikan
sebuah lagu dari The Casual “Jasamine”. Sebelumnya, Guruh Gipsy bahkan tampil
dalam acara malam dana untuk membantu Chrisye yang tengah mengidap kanker pada
akhir tahun 2005. Di layar RCTI Guruh Gipsy dengan formasi Keenan Nasution, Guruh
Soekarno Putera, Oding Nasution, Roni Harahap, Abadi Soesman dan Raidy Noor, adik
ipar Chrisye yang menggantikan posisi Chrisye, tampil membawakan lagu
“Indonesia Maharddhika” dan “Chopin Larung”.
Di
tahun 2007, Keenan bertekad ingin kembali ke industri musik pop dengan merilis
album “Apa Yang Telah Kau Buat” serta konser “Nuansa Bening” 5 Mei 2007 di
Balai Kartini. Selain didukung sahabat lama seperti Addie MS, Harry Sabar, Fariz
RM, Roni Harahap dan lainnya, Keenan pun didukung pemusik era sekarang seperti
Ada Band, Marcel, Nugie dan Daryl Nasution yang merupakan putera kandung Keenan
Nasution dan Ida Royani. Like father, like son ! (DS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar